
Entah siapa sebenarnya yang sial. Apakah Pulau Sebuku yang sial, atau Sebuku Coal Group yang sama mengalami kesialan pula.
Pulau Sebuku, pulau yang ukurannya lebih kecil daripada Pulau Laut; boleh jadi dikatakan sial. Karena tak seperti Pulau Laut yang bakal memperoleh konpensasi senilai Rp 700 milyar. Sedangkan Pulau Sebuku yang tidak saja batubaranya yang dikeruk tapi juga juga bijih besinya, namun tak terdengar memperoleh konpensasi. Padahal kalau dilihat dari udara, maka akan tampak banyaknya lubang menganga bekas galian tambang yang tak direklamasi.
Sebuku Coal Group pun bisa jadi dikatakan sial. Karena selama beberapa dekade aktivitas penambangan baik batubara mauun bijih besi di wilayah Kabupaten Kotabaru umumnya Kalsel; tak terdengar perusahaan lainnya mengeluarkan konpensasi atas eksploitasi tambangnya.
Sejumlah perusahaan besar yang lebih duluan mengeksploitasi wilayah Kabupaten Kotabaru bahkan sejak masih bergabung dengan Tanah Bumbu, sebut saja PT Arutmin Indonesia; tak terdengar mengeluarkan konpensasi untuk kegiatannya, padahal dampaknya yang ditimbulkannya pasca tambang pun sama saja.
Sebenarnya kalau mau jujur semua pasti tahu kalau usai penambangan yang diakibatkannya adalah meninggalkan lubang-lubang besar dan dalam yang entah kewajiban siapa sebenarnya untuk mereklamasinya.
Usai satu penambangan berhenti apakah daerah sekitar tambang warganya berubah jadi sejahtera dan lingkungan mereka pun bertambah baik ?
Silakan siapa saja pergi ke Desa Geronggang di Kecamatan Tengah Kabupaten Kotabaru. Lihatlah bagaimana kini kondisi Desa Geronggang tersebut pasca tak ada lagi kegiiatan penambangan setelah puluhan tahun isi perut buminya dikeruk, begitupun dengan desa-desa di sekitarnya.
Kembali ke soal konpensasi tambang di daratan Pulau Laut Kotabaru sebesar Rp 700 milyar. Apakah dengan dana sejumlah itu akan sebanding dengan kerusakan yang akan ditinggalkan sebagai warisan pasca penambangan nanti ?
Semoga saja mereka yang cukup waras dan masih bisa berhitung dengan rumus matematika benar perhitungannya. Kalau tidak, maka yang akan menanggung warisan kerusakan alam dan lingkungan adalah para generasi mendatang. Salam waras untuk menghitung konpensasi. (Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.