"Media perusak demokrasi."
Ungkapan baru yang terlontar berasal dari satu negara demokrasi yang termasuk terbesar di dunia, Indonesia. Bukan ungkapan sebenarnya tapi bernada tudingan yang tak jelas arahnya secara tepat, karena sifatnya menggeneralisir tanpa menyebut secara tepat dan jelas media apa dan bagaimana yang dikategorikan sebagai perusak demokrasi.
Apa tolok ukur dan kriteria yang disusun sehingga terdapat pemilahan antara media yang pro demokrasi, anti demokrasi, dan perusak demokrasi; mestilah jelas, dan kalaupun ada, maka yang berhak berada di domain ini adalah Dewan Pers selaku wasit atau juri bukan pribadi, perorangan maupun kelompok tertentu yang tanpa legitimasi.
Kalau tolok ukur untuk menuding media sebagai perusak demokrasi hanyalah berdasarkan atas like and dislike atas pemberitaannya yang dianggap tak memihak pada kepentingan pribadi maupun golongan tertentu; tentulah tudingan tersebut tak berdasar sama sekali kecuali hanya didasarkan faktor emosional belaka. Karena media yang wajib bersikap independen tentulah tak akan melakukan keberpihakan kepada siapapun terkecuali kepada kepentingan informasi publik.
Ungkapan media sebagai perusak demokrasi itupun dianggap sebagai sikap kekanak-kanakan oleh banyak pihak, sikap yang emosional berdasarkan keinginan dan nafsu pribadi. Justru yang menuding media sebagai perusak demokrasi itu sendiri lah yang sebenarnya merusak demokrasi, karena indikasinya anti kritik, padahal media yang dalam hal ini disebut Pers merupakan pilar ke 4 demokrasi setelah Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Kalaulah boleh membuat suatu teori demokrasi baru maka trias politica mestilah dikalahkan oleh teori baru yang bernama Quatrus Politica, karena sangat pentingnya peran media/pers pada pelaksanaan seluruh proses demokratisasi.
Belum pernah sejarah mencatat ada tokoh maupun pemimpin dunia yang menuding media sebagai perusak demokrasi, tidak Napoleon Bonaparte, bukan Benito Mussolini, Adolf Hitler, Joseph Stalin, Lenin, bahkan Fir'aun Ramesess II dan Nymrod sekalipun. Tapi justru tudingan tersebut menyeruak dari Indonesia yang selain negeri yang mengaku demokratis dan berpenduduk muslim terbesar di dunia. Apa hal ? Karena nafsu politik yang sangat besar lah yang mengakibatkannya, memunculkan nalar yang egosentris menyimpulkan kalau tak berada di pihaknya berarti kontra dan dianggap perusak.
Dewan Pers, jika merespons ungkapan yang sedemikian ini, ke depannya bukan hal mustahil akan membuat kriteria baru terhadap media, yakni kriteria pro demokrasi, anti demokrasi, pemelihara demokrasi dan perusak demokrasi sebagai syarat bagi perusahaan maupun pelaku media. Kalau sudah begitu, requem untuk media, dan akan banyak media yang dikubur dan dimakamkan. ©Jurnalisia™
👀 3034


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.