Cerpen - Jurnalisia™

  • Jurnalisia™

    Mengusung Kearifan Lokal

    Jurnalisia™

    Sumber Data Cuaca: https://cuacalab.id
    Website Ini Telah Dilihat 98,52 Juta Kali

    Cerpen



      Penulis : Imi Surya Putra


    Utang yang Mengantar Umrah


    Sudah lama keinginan Rusmini untuk pergi umrah dengan suami, Suripto, ia pendam bertahun-tahun. Akhirnya hari ini sudah membayang di pelupuk matanya akan memandang ka’bah.

    Sejak tadi malam mata Rusmini sulit terpejam. Hingga menjelang siang tetap juga matanya tak mau terpejam. Rusmini sudah membayangkan perjalanannya yang cukup jauh dari kota kecil dimana ia tinggal menuju bandara yang berjarak hampir 300 kilometer.

    Sebelum azan subuh berkumandang, Rusmini sudah mandi, kemudian membangunkan Suripto, untuk bersama-sama melaksanakan shalat subuh berjamaah.
    Meski Rusmini mencoba khusuk menjalankan shalat subuh, tak urung pikirannya kerap membayangkan perjalanannya melaksanakan umrah. Dalam doanya usai shalat subuh, Rusmini memohon kepada Tuhan agar segala beban hidup yang selama ini dialaminya segera menemukan jalan keluarnya.

    Selama sekitar 6 tahun ini Rusmini hidup bersama Suripto, suami ketiganya yang tak memiliki pekerjaan selain membantunya membuka usaha rumah makan. Suami pertama Rusmini dulu adalah seorang pelaut yang jarang pulang dan berkumpul dengannya. Dari Heru, suami pertamanya, Rusmini memperoleh seorang putri yang sudah memberinya seorang cucu.
    Heru yang jarang pulang, ternyata memiliki istri lagi di kota lain, dan tak lagi menghiraukan Rusmini beserta putrinya. Tanpa proses apapun, mereka berpisah.
    Sedangkan suami kedua Rusmini, adalah Mansyah, yang menjadi seorang supir bis antar kota. Nasib Mansyah begitu tragis, ia tewas dalam sebuah kecelakaan berikut belasan penumpang ketika bis yang dibawanya bertabrakan dengan sebuah truk gandeng. Dari Mansyah, Rusmini tak sempat mendapatkan seorang anak pun.

    Suripto bukannya tak pernah berusaha mencari pekerjaan. Ia pernah mencoba peruntungan berdagang kecil-kecil berjualan ikan, namun mengalami kebangkrutan. Suripto pun pernah ikut seorang temannya menjadi makelar hasil tambang, tapi tampaknya pekerjaan tersebut tidak cocok dengan sifatnya yang temperamen.
    Akibat dari kegagalannya dalam berusaha, Suripto larut dalam minuman keras.

    Melihat kondisi suaminya yang sering mabuk itu, Rusmini pun menjadi maklum dan tak lagi menuntut suaminya untuk berusaha layaknya seorang suami. Urusan mencari nafkah pun diambil alih oleh Rusmini.

    Rusmini yang sudah terbiasa berusaha sejak masih remaja, selalu punya jalan untuk terus membuka usaha. Apalagi Rusmini yang supel dalam bergaul dengan gaya bicara yang lemah lembut, membuat banyak orang yang akhirnya menjadi kenalannya bersedia membantunya meminjamkan modal.

    Adapun Suripto yang cukup lama tak bekerja, menjadi keenakan menikmati kondisinya yang telah diambil alih oleh istrinya. Suripto tak lebih dari bodyguard Rusmini. Apapun akan dilakukan oleh Suripto untuk Rusmini ketimbang ia mesti bersusah payah mencari nafkah.

    Usaha rumah makan milik Rusmini dari waktu ke waktu tampak semakin ramai. Ia pun mengembangkan usaha lainnya dengan membuka salon kecantikan. Untuk menangani kedua usahanya itu Rusmini memiliki banyak pekerja, baik untuk di rumah makan, maupun di salon kecantikan.
    Banyak orang menganggap Rusmini sudah hidup cukup makmur; memiliki rumah makan dan salon kecantikan di tempat yang cukup representatif, memiliki mobil keluaran terbaru, dan pergi umrah suami istri.

    Siang itu sepeninggal Rusmini dan Suripto pergi melaksanakan umrah, 2 lelaki setengah baya berboncengan naik sepeda motor mendatangi rumah makan dan salon kecantikan milik Rusmini yang tidak buka. Didalam bangunan tempat kedua usaha Rusmini itu hanya ada anaknya, Ratna dan suaminya.
    “Bu Rusmini ada, mbak ?” tanya salah seorang dari kedua lelaki yang mencari Rusmini.
    “Wah, ibu sedang nggak ada, pak. Ibu sama bapak pagi tadi berangkat umrah, memangnya ada apa ya, pak ?” Ratna balik tanya.
    “Waduh, Bu Rusmini ini gimana, bukan melunasi utang-utangnya ke kami, malah pergi umrah,” gerutu lelaki yang berpotongan seperti seorang petugas intel kepolisian.
    “Maaf pak, saya tidak ngerti urusan masalah utang ibu,” kata Ratna dengan roman polos.
    “Iya sih, tapi nggak etis banget pergi ibadah tapi ninggal utang begitu banyak. Kapan Bu Rusmini pulang ?” tanya lelaki itu lagi, sementara temannya cuma diam dengan muka tanpa ekspresi.
    “Saya kurang tau juga, mungkin sekitar 2 minggu baru pulang,” sahut Ratna yang menghadapi kedua orang tersebut tanpa didampingi suaminya yang sedang tidur.
    “Bilang nanti ke Bu Rusmini kalo dia sudah pulang; kami mencarinya untuk minta supaya semua utangnya dilunasi,” ketus lelaki itu sambil melangkah dan menaiki sepeda motor.
    Ratna termangu mendengar perkataan ketus lelaki itu. Sungguh ia tak mengetahui apa yang dilakukan ibunya selama ini.

    Sejak meninggalkan rumah menuju ke bandara, Rusmini tak menghidupkan ponselnya. Ia pun minta agar Suaminya juga tak menghidupkan ponselnya. Rusmini tak mau perjalanannya umrah bersama suaminya menjadi terganggu oleh orang-orang yang bisa menghubungi mereka.
    Sepanjang perjalanan yang memakan waktu sekitar 4 jam, Rusmini lebih banyak diam merenungkan perjalanan hidupnya. Ia berdoa agar diberi keselamatan hingga kembali pulang ke rumah. Sementara itu Suripto sudah sejak lebih sejam yang lalu tidur.

    Ponsel Ratna yang ia taruh diatas meja rias berdering, ia pun mengangkatnya.
    “Halo, ini siapa ya ?” tanya Ratna.
    “Aku mama Aisyah. Aku mau tanya Bu Rusmini, kok ponselnya ga aktif sih, untungnya aku dapat nomer kamu ini dari anak buah Bu Rusmini yang di salon,” cerocos suara di ponsel.
    “Ibu ga ada, tante. Beliau sama bapak berangkat umrah, ada apa ya tante ?” tanya Ratna.
    “Hah apa ?! Pergi umrah ?! Enak bener !” suara di ponsel itu seperti berteriak.
    “I…iya, tante, kenapa ?” Ratna menjawab agak gugup.
    “Sebel tau, enak aja main pergi, utangnya 4 juta sama aku ga dibayar,” suara di ponsel itu masih kencang.
    Ratna hanya bisa terdiam sambil termangu dengan mata yang berkaca-kaca.
    “Dengar ya, bilang ke ibumu kalo dia pulang nanti, lunasi utang-utangnya jangan main janji-janji aja dan main pergi,” masih terdengar suaranya, lalu putus.

    Malamnya Ratna usai makan malam dengan suaminya, bercerita mengenai orang-orang yang mencari ibunya.
    “Kamu belum tahu gimana sepak terjang ibu diluar ?” tanya Herman, suaminya.
    Ratna tak menyahut pertanyaan suaminya yang seolah sedang mengujinya, ia cuma menggeleng.
    “Aku sering dengar orang-orang diluar ngomong soal ibu yang utang kesana kemari. Kupikir kamu tau gimana ibu,” kata Herman.
    Lagi-lagi Ratna hanya bisa menggeleng.
    “Bahkan aku dengar beberapa tetangga sini ngomong; mobil yang dibeli ibu itu uangnya berasal dari utang. Dan lebih parah lagi ada yang ngomong; untuk pergi umrah itu berasal dari uang arisan yang untuk membayarnya juga uang utangan,” ungkap Herman.
    Ratna hanya menjadi pendengar, hanya bisa menghela nafas panjang.
    “Terus kemana uang hasil usaha ibu selama ini ?” Ratna seolah bertanya kepada dirinya sendiri.
    “Itulah aku yang tak mengerti selama ini. Usaha cukup ramai begini tapi utang menyebar kesana kemari,” cetus Herman dengan muka heran.

    Di tengah suami istri itu larut dalam pikiran mereka masing-masing mengenai orangtua mereka, ponsel Ratna berdering.
    Dengan langkah gontai Ratna meraih ponselnya yang ia letakkan di meja tempat tivi.
    “Halo, dengan siapa, ya ?” tanya Ratna.
    “Saya Bu Dina. Saya mau bicara dengan Bu Rusmini, bisa ya ?” sahut suara di ponsel.
    “Ini bukan nomer Bu Rusmini,” jawab Ratna tak ingin melayani si penelpon sambil memutuskan pembicaraan.
    Merasa tak dilayani, ponsel Ratna kembali berdering, yang menelpon kembali adalah yang mengaku bernama Bu Dina itu.
    Ratna membiarkan ponsel itu tetap berdering hingga berhenti sendiri. Tapi orang itu tetap ngotot terus menelponnya. Ratna tetap tak mau melayaninya dengan mengaktifkan profile silent di ponsel agar tak terdengar bunyi deringan.

    Lebih sejam kemudian setelah Ratna memerika ponselnya, terdapat 14 kali panggilan masuk oleh nomer yang sama, nomer Bu Dina. Dan terdapat 1 SMS di kotak masuk, lumayan panjang, bunyinya; “ga apa-apa kamu tak mau angkat ponselku. Aku tau ibumu, Bu Rusmini pergi umrah dengan membawa serta ponsel BB yang belum ia lunasi ke aku. Semoga Bu Rusmini selamat hingga pulang kembali ke rumah, sadar, dan melunasi segala utangnya. Kita boleh miskin, asal jangan banyak utang.”



    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


    Dor ! Polisi Itu Pun Roboh

    Oleh : Imi Suryaputera


    Duaaaar……!
    Bunyi keras itu membangunkan tidurku yang lelap oleh mimpi-mimpi indah.

    Aku segera bangkit dari tempat tidur, sambil mengucek-ngucek mata kemudian melihat arloji di pergelangan tangan kiri. Waktu menunjukkan pukul 03.15 WITa.
    Sambil berjalan ke arah pintu depan, aku mengingat-ingat arah datangnya bunyi yang sangat keras itu.

    Perlahan kubuka pintu, memandang keluar rumah. Beberapa orang ada yang berlari, setengah berlari dan ada pula yang Cuma jalan ke arah tepi sungai yang membelah kota kecil kami.
    Aku yang kebetulan sendiri di rumah kontrakan, perlahan merapatkan pintu dan menguncinya. Aku pun berencana akan mengikuti beberapa orang tadi menuju ke tepi sungai untuk mengetahui apa yang terjadi disana.
    “Ada apa ya mas ?” suara di belakangku mengejutkan.
    Rupanya Mas Jamil tetangga kontrakanku yang ikut terbangun dan menanyaiku.

    Aku berpaling ke arah suara yang menanyaiku, Mas Jamil.
    “Nggak tahu juga, mas. Mungkin itu tadi suara pistol polisi yang ditembakkan,” sahutku sekenanya.
    “Mas Arief mau kesana, ke arah bunyi letusan itu ?” tanya Mas Jamil lagi.
    “Iya mas,” jawabku sambil melangkah menjauhinya.
    “Ceritakan nanti apa yang terjadi disana, ya mas,” seru Mas Jamil.
    “Oke mas,” seruku pula.

    Setengah berlari aku menuju ke tepi sungai. Tak berapa lama aku sudah tiba disana. Puluhan orang berkerumun. Sepertinya sedang mengerumuni sesuatu. Aku pun berdesakan diantara kerumunan orang-orang yang masih menampakkan mata yang masih mengantuk.
    Setengah memaksa aku menyibakkan kerumunan orang itu. Aku pun berhasil menyembulkan kepalaku sehingga dapat melihat objek yang dikerumuni.

    Di tengah kerumunan orang itu sedang tergolek sesosok berpakaian polisi yang sedang menahan sakit sambil memegangi lengan kanannya yang berdarah.
    “Ayo tolong dibantu mengangkat bapak ini ke Puskesmas,” pinta seorang berseragam polisi lainnya yang memagang pistol dengan wajah yang tampak galau.

    Beberapa orang pun bereaksi mendengar permintaan anggota polisi itu. Ada enam orang menggotong polisi yang terluka itu, menaikkannya ke sepeda motor yang sudah disiapkan.

    Polisi yang sedang terluka itu pun dibawa ke Puskesmas yang jaraknya sekitar setengah pal (kilometer) dari TKP (Tempat Kejadian Perkara).
    Di tepi sungai itu aku dan beberapa orang lainnya yang masih berada dan berdiri disitu, saling bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Tak ada seorang pun diantara kami yang tahu kenapa anggota polisi itu terluka.

    Pertanyaan terkait polisi yang terluka di tepi sungai itu pun aku bawa pulang ke kontrakanku. Mas Jamil yang rupanya tidak tidur menantikan ceritaku, tak mendapatkan apapun dari ceritaku selain polisi yang terluka di lengan kanannya tanpa diketahui penyebabnya.

    Siangnya ketika aku sedang melewati pangkalan ojek yang tak jauh dari kontrakanku, beberapa tukang ojek ramai memperbincangkan perihal kejadian tadi malam yang menimpa anggota polisi yang terluka.
    “Tak habis pikir aku, kenapa membidik perampok kok malahan teman sendiri yang tertembak,” sungut seorang tukang ojek yang kukenal sebagai Mas Imran.
    “Jangan-jangan temannya itu sengaja menembak karena sentimen,” sahut tukang ojek lain, Mas Parno.
    “Hus, jangan mengira macam-macam, entar sampai ke telinga polisi lainnya,” tegur Mas Ahmad yang bukan tukang ojek tapi tukang servis elektronik, yang memang kiosnya bersebelahan dengan pangkalan ojek.

    Dari informasi yang kudapat dari seorang anggota polisi kenalanku, malam itu 2 anggota Polsek sedang mengejar seorang perampok kambuhan yang berlari menuju tepi sungai. Perampok yang kepepet itu meski sudah diberi tembakan peringatan, tetap berlari, dan bahkan melakukan perlawanan.
    Terjadilah duel antara seorang anggota polisi dengan perampok yang sudah tak bersenjata itu. Seorang anggota polisi lainnya yang bermaksud akan melumpuhkan perlawan si perampok, membidik ke arah kaki sasarannya. Karena kondisi yang agak gelap, bukannya tembakan mengenai sasaran, tapi malah terkena lengan teman sendiri. Adapun perampok yang mengetahui polisi musuhnya duel terluka, segera menceburkan diri ke sungai dan berenang ke seberang. Buruan lepas, teman sendiri digotong ke Puskesmas.


    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


    Mendung Di Pelupuk Mata Bunda

    Oleh : Siti Nurhidayati


    Senja merah menggantung dengan indah di ufuk barat, di depan rumahku. Masih terasa hawa basah dan dingin yang menyergapku, karena hujan yang menguyur desaku sejak subuh hingga zuhur tadi. Mulai terdengan bunyi kodok bersahut-sahutan seperti sedang membuat pertunjukan yang terus berjalan dengan harmoni yang unik. Terkadang hal itu membuat aku tersenyum sendiri karena suaranya yang terdengar lucu. Tapi hal itu tidak terjadi hari ini.

    Semenjak dua hari lalu aku kedatangan orang yang pernah melahirkanku dan langsung meninggalkanku ditempat nenekku. Nyai, begitu aku memanggil nenekku, sering sekali kuhujani dengan berbagai pertanyaan tentang Ibuku namun nyai tak pernah menjawab. Saat aku mulai masuk sekolah pertama, barulah aku bosan mencari tau tentang Ibuku. Entah apa yang ada di pikirannya hingga dia tega meninggalkan aku begitu saja. Leherku serasa tercekik setiap mendengar guru agamaku menyatakan agar berbakti kepada Ibu kita yang telah dengan susah payah membesarkan kita. Tapi apa? kenyataan yang kudapat tidak sesuai dengan apa yang dikatakan guru agamaku itu.

    “Agus, maghrib nak, masuklah,” ibu memanggilku dengan nada yang dilembutkan. Aku memang tidak suka dengan kehadiran ibu yang tiba-tiba itu. Sehingga aku tidak terlalu memperhatikannya, itulah sebabnya komunikasi kami tidak begitu baik, bahkan bisa dibilang buruk.

    Aku melengos saja masuk rumah, dan langsung ke belakang untuk mengambil air wudhu. Didalam shalat aku merasa terguncang. Ada pergolakan hebat dalam batinku, disisi lain aku memang merindukan sosok seorang ibu dalam kehidupanku, namun disisi lain aku tidak bisa menerima kenyataan kalau nyai meninggal setelah sehari bertemu ibu, aku merasa ibu lah menjadi penyebabnya.

    Sekitar jam delapan malam, kudengar ibu sedang memasak. Tercium aroma makanan kesukaanku tumis ikan peda yang membuat aku teringat akan saat-saat kubersama nyai, makanan itulah yang menjadi kesukaanku dan selalu dimasakkan oleh nyai setiap hari minggu. “Nak, ayo makan, ibu masak ikan peda karena ibu suka sekali ikan peda dan ibu pikir kamu pasti akan suka juga,” ibu membuyarkan lamunanku. “agus alergi,” jawabku singkat dan langsung meninggalkan ibu yang masih berada di pintu dapur. Entah kenapa aku bisa sekasar itu pada ibu. Dalam hatiku yang paling dalam, sungguh kusesali perkataanku barusan.

    Aku menelusuri jalan setapak yang masih terasa agak licin, setelah sampai di pinggir desa, kuhentikan langkahku dan bersandar di pohon pisang yang banyak berjajar di dekat gapura. Disini aku banyak mengingat kenangan masa kecilku bersama Seto, Bima, Ari dan beberapa kawanan lain. Dulu ketika kami berada dalam satu Sekolah Dasar, setiap pulang sekolah saat musim pisang berbuah, kami membawa kantong kresek putih yang besar dan mengambil pisang-pisang yang sudah menguning. Dengan sigapnya kami memetik pisang itu dan memasukkannya didalam kresek. Kami memang harus cepat, karena tak lama setelah itu, pak lurah akan mengejar kami sambil berteriak mengumpat. “dasar anak-anak nakal, bikin jengkel banget,” seru pak lurah waktu itu. Aku tersenyum sendiri mengingat itu. Yang kutahu waktu itu aku bahagia saja meskipun tanpa Ibu, namun aku sangat iri juga melihat teman-temanku dimanja dan disayang oleh ibu mereka.

    Namun kenapa nyai harus pergi, padahal aku tak pernah bisa membayangkan bila tidak ada nyai dalam hidupku. Kenapa harus ibu yang menjadi pengganti nyai. Huh, dengan seenaknya saja dia menempati rumah nyai, masak didapur nyai. Aku benci melihat itu semua. Sungguh Tuhan tak adil menurutku. Harusnya ibu tidak kembali datang sehingga semua ini tidak terjadi. Arrggghh, ingin pecah kepalaku memikirkan semua ini. Aku tidak mau wanita yang telah mencampakkanku begitu saja dengan mudahnya menggantikan nyai yang begitu menyayangiku dan mengurusku selama ini.

    Aku beranjak pulang dengan nafas yang penuh kemarahan, aku akan membuat wanita itu pergi dari rumah nyai. Tidak akan lagi kubiarkan dia menyentuh barang-barang yang pernah menjadi milik nyai. Dalam hatiku yang penuh dengan kemarahan, aku berencana akan membuatnya menyesal karena telah meninggalkanku.

    Sampai didepan rumah, kubuka pintu rumah dan masuk. Aku dengan cepat mencari ibu. Dikamar nyai, tidak ada, dikamarku, tak ada juga, aku berjalan cepat ke dapur, nihil. Aku berpikir sejenak, lalu dengan pelan aku berjalan ke ruangan nyai yang biasa digunakan untuk melaksanakn shalat dan mengaji. Begitu masuk, aku sungguh terperanjat. “nyai,” bisikku pelan. Kulihat wanita sedang shalat ditempat nyai, sungguh mirip dengan nyai. Tapi tidak mungkin itu nyai, pikirku. Karena tidak mungkin nyai bisa keluar dari dalam tanah. Aku duduk di pintu ruangan, kutunggu wanita itu menyelesaikan shalatnya, sungguh tenang hatiku didekatnya.

    “Tuhan, berilah anakku kehidupan yang baik dan indah di dunia dan akhirat. Jangan beri dia nasib sepertiku yang harus merantau untuk dapat menyambung hidup kami. Ampunilah dosanya dan beri dia petunjuk agar dia bisa menerimaku kembali. Tuhan, beri ibuku tempat yang layak karena beliau sudah menepati janjinya untuk terus menjaga anakku dan menjaga rahasiaku, amin ya robbal alamin,” nyaris lemah lututku mendengar doa ibu yang terdengar begitu tulus. Kemarahan yang sedari tadi menguasaiku langsung luluh seketika. Ingin rasanya aku memeluknya dan meluapkan kerinduanku selama ini. Tapi tidak, aku mengenda-ngendap masuk ke kamar nyai, kuperiksa tumpukan arsip diatas lemari. Kulihat arsip yang paling kusam dan kubuka, semakin miris ketika aku tau kalau itu adalah kumpulan surat-surat dari ibu selama dia pergi. Dari surat-surat itu, aku tahu kalau ibu tidak pernah meninggalkanku. Ibu pergi bekerja untuk memenuhi kebutuhanku dan nyai. Demi untuk menyambung hidup kami, ibu menjadi seorang buruh bangunan, pekerjaan yang harusnya dikerjakan oleh seorang laki-laki. Terbersit rasa bangga dalam benakku, karena perjuangan ibu yang luar biasa.

    “Agus, apa yang kamu cari nak?” ibu masuk, lamunanku buyar dan dengan sigap membereskan arsip dan meletakkan kembali seperti semula. Ibu terus memperhatikanku dengan heran. Aku merasakan mataku merah karena ingin menangis, tapi kutahan. Aku adalah seorang laki-laki dan aku harus kuat. Itulah ajaran nyai yang terpatri kuat dalam diriku. “ibu masak apa?” tanyaku pada ibu sembari mengucek mataku untuk menutupi ekspresiku. “ikan pedas nak,” jawab ibu.

    Kurangkul ibu, “ayo kita makan bu,” kataku sembari mengajak ibu kedapur. Ibu tiba-tiba memelukku, terasa ada air yang menetes dibahuku dan sungguh terasa amat dalam tangisan ibu. Aku tak bisa lagi menahan butiran-butiran air di mataku yang sejak tadi mendesak ingin keluar. Kami bertangisan bersama. Sejak lima belas tahun yang lalu aku merasa ada bagian dari diriku yang hilang, dan kini aku telah menemukannya kembali. My mom is my life.


    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


    Cinta Terlarang

    Oleh : Imi Suryaputera


    “……Tuhan berikan aku hidup satu kali lagi hanya untuk bersamanya, kumencintainya, sungguh mencintainya….”

    Lagu The Virgin itu membuatku menerawang dan mengingat seorang teman yang dibalik sikapnya yang banyak bicara namun menyimpan suatu misteri. Kami sudah saling kenal dan bergaul sejak hampir 3 tahun lalu. Arman sering datang ke rumahku untuk sekedar ngobrol hingga diskusi dan sharing terkait pekerjaannya sebagai seorang jurnalis, dan pekerjaanku sebagai seorang staf di bagian pengendali mutu (quality control) pada sebuah perusahaan pertambangan.
    Arman, di usianya yang mendekati kepala 4, namun masih betah hidup melajang. Mulanya aku pikir ia ragu untuk membina sebuah rumah tangga dikarenakan pekerjaannya yang belum mapan sebagai seorang jurnalis freelance, namun kiranya ada sesuatu hal yang ia sembunyikan dari sisi kehidupannya.

    Suatu kali Arman pernah cerita kepadaku, sebenarnya ia sempat membina sebuah rumah tangga dengan perempuan mancanegara dari negeri jiran. Tapi tak bertahan langgeng dikarenakan kepulangannya ke kampung halamannya di pelosok Kalimantan. Isterinya WN Malaysia menolak ikut Arman. Jadilah Arman pulang kampung dengan status tetap lajang alias menjomblo. "Aku sebetulnya sangat sayang terhadap isteriku itu, namun rasa sayangku tak sanggup menahanku untuk pulang kampung dan berkumpul dengan sanak famili," ungkap Arman dengan logat bicara salah satu etnis di pulau sulawesi.

    Sekian lama aku bergaul dengan Arman, memperhatikan sikapnya dalam keseharian, akhirnya aku berkesimpulan ada sesuatu misteri dibalik kepribadiannya. Inilah sebenarnya membuatku tertarik dan ingin tahu lebih jauh mengenai diri Arman.
    Dari pengamatanku yang cukup lama, dibantu oleh sejumlah kenalan Arman lainnya, ternyata ada dugaan Arman menjalin sebuah hubungan “cinta terlarang” dengan seorang wanita yang masih berstatus isteri orang. "Arman itu kan pacaran dengan sepupunya sendiri yang tinggal satu rumah dengannya itu," beber seorang ibu-ibu tetangga dekat Arman yang juga kenal denganku.
    "Masa sih ! Sepupunya itu kan ada suaminya, punya anak pula," ujarku dengan selidik.
    "Iyalah. Namanya juga cinta itu buta, suka sama suka. Apalagi suaminya jarang pulang karena kerja diluar pulau," beber ibu itu pula sok tahu.

    Omongan seorang tetangga dekat Arman tempo hari denganku, kupikir boleh jadi ada benarnya juga meski harus ada beberapa orang lagi yang menguatkan dugaan itu.
    Dari seorang rekan dan teman kerja Arman, kudapatkan informasi yang meguatkan dugaan Arman melakukan hubungan cinta terlarang dengan sepupunya yang telah bersuami.
    Menurut rekan Arman itu, sepengetahuannya selama ini perempuan yang amat berpengaruh dalam keseharian kehidupan pribadi Arman, tidak lain merupakan sepupu sekali dari pihak ibu Arman itu.

    Sofia, sepupu Arman yang telah 4 kali menikah dan berumah tangga, kini hidup bersama suaminya yang ke-4.
    Kisah cinta masa lalu antara Arman dan Sofia di kala mereka masih remaja, ternyata tak pernah pupus. Tidak bersatunya mereka sebagai suami isteri yang sah, disebabkan hubungan kerabat yang amat dekat itu. Kiranya perasaan cinta yang dianggap suatu aib ini bagi keluarga mereka, terus berlangsung secara diam-diam, tak dapat pupus oleh waktu dan tempat.
    "Belum ada kepikiran mau menikah lagi, betah amat menjomblo," godaku suatu kali ke Arman.
    "Nikah itu gampang, yang penting kita siapkan dulu bekal untuk masa depan keluarga," dalih Arman.
    "Tapi pacar tetap punya kan ?" Selidikku.
    "Ada deh, itu pasti, buat hiburan biar nggak cepat keriput," sahut Arman sambil terkekeh.

    Sekembalinya Arman dari perantauan rupanya membuka dan merajutkan kembali hubungan cintanya dengan Sofia yang telah memiliki seorang anak perawan itu.
    Meski Sofia berstatus isteri orang, hubungannya dengan Arman terjadi secara diam-diam di saat-saat suami Sofia sedang pergi kerja di sebuah perusahaan tambang batubara diluar pulau.
    Status Arman dan Sofia yang diketahui banyak orang di sekitarnya memang memiliki hubungan sebagai sepupu, memudahkan keduanya melakukan hubungan cinta terlarang mereka.
    Sering kali Sofia memperlihatkan kecemburuannya manakala mendengar atau melihat Arman menjalin keakraban dengan wanita lain. Bahkan Sofia tak jarang malah mencari tahu tempat tinggal wanita yang ia dengar telah menjalin keakraban dengan Arman itu.
    "Kalau cari pacar nggak usah seperti cewek yang dibawa kesini kemaren. Cewek itu kayaknya cewek nggak benar, anak mana sih dia ?" Tanya Sofia penuh selidik setelah Arman balik ke rumah usai mengantar seorang teman ceweknya.
    "Nggak lah, dia cuma teman aja yang pingin main ke rumah," sahut Arman datar tanpa tekanan.
    "Teman.....apa teman ?" Balas Sofia sinis.

    Sementara Burhan, suami Sofia, pria pendiam ini lebih berkutat dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Tampaknya ia tidak punya cukup waktu memperhatikan keakraban isterinya dengan Arman yang ia panggil dengan sebutan abang itu.
    Tak ada tanda-tanda di wajah Burhan yang membersitkan dirinya menaruh kecurigaan terhadap perilaku isterinya sehari-hari.
    "Kalau aku sedang kerja nggak ada di rumah ini, maka abang lah sebagai ganti kepala rumah tangga. Saya kan baru bisa pulang setengah bulan sekali bila terkena jadwal libur sebanyak 3 hari," kata Burhan suatu kali ke Arman.
    Mendengar penuturan Burhan itu, Arman cuma diam saja tanpa menatap Burhan. Namun dalam pikirannya Arman sempat-sempatnya menghitung jadwal kerja kapan ia mulai dan kapan ia libur.

    Sofia, wanita berperawakan tinggi semampai dengan kulit bersih dan raut wajah cukup cantik. Di usianya yang mendekati 40 tahun, Sofia tampak masih seperti wanita berusia 20 tahunan.
    Terkadang aku juga suka membayangkan Sofia pada saat kesendirianku menjelang tidur. "Betapa beruntungnya pria yang mendapatkan Sofia, meski janda empat kali pun aku tak menolaknya," lamunku sambil mendekap guling erat-erat seolah sedang mendekap Sofia.

    Ah, rupanya aku sudah melantur kemana-mana terbawa alunan lagu yang sedang hit itu.
    ~~Tuhan.....berikan aku hidup satu kali lagi hanya untuk bersamanya.....kumencintai.......nya, sungguh mencintai.......nya......~~


    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


    Cinta Sebatas Meja

    Oleh : Imi Suryaputera


    Malam telah semakin larut. Para pedagang yang sejak dari tadi pagi membuka toko dan menggelar dagangannya, satu persatu telah pula menutup serta merapikan dagangan mereka. Namun tak seberapa jauh, jarak belasan meter dari lokasi pasar induk, para penjual makanan dan minuman masih ramai melayani pembeli. Deretan warung kopi yang dijaga para wanita muda, kursinya tampak masih penuh oleh pengunjung. Terlihat pula beberapa gerombol anak muda yang sedang main gitar mendendangkan lagu-lagu cinta. Sambil menyanyi mereka bergiliran menerima minuman beraroma alkohol dalam gelas secara bergiliran. Sesekali lewat mobil trailer yang mengangkut alat berat ke arah lokasi pertambangan. Di tepi jalan umum propinsi, di depan kumpulan warung makan dan warung kopi itu, para Penjaga Parkir masih sibuk mengatur kendaraan yang akan mampir dan keluar.

    Di sudut bagian pasar yang agak remang tak jauh dari sebuah warung makan yang selalu ramai pengunjung, seorang anak muda sedang duduk di atas beton penguat selokan. Cahaya temaram dari penerangan warung makan nyaris gagal menyembunyikan wajahnya yang tampak kusut.
    Fahrul amat menyesali kejadian siang tadi. Semestinya ia tak ikut teman-temannya bermain judi kiu-kiu. Uang penghasilannya menjaga parkir selama 5 hari, kini hanya sisa untuk membeli sebungkus rokok murahan. Ia merogoh telpon genggamnya, mengecek sisa pulsa, cuma tinggal untuk mengirim pesan singkat beberapa kali.
    Fahrul menulis pesan, mengirimnya ke nomor Yani teman akrabnya. Ia meminta agar temannya itu menemuinya. Tak berapa lama balasan pun terdengar dari telpon genggam yang susah payah ia beli dengan menabung selama hampir 4 bulan itu. Yani meminta Fahrul agar menunggunya sekitar seperempat jam.

    Sambil menunggu Yani, Fahrul memperhatikan para pengunjung warung makan yang berada tak jauh dari tempatnya duduk. Beberapa pengunjung ada yang datang menggunakan mobil, yang lainnya naik sepeda motor. Fahrul tak begitu serius mengamati para pengunjung itu. Yang sejak tadi terus menggoda pikirannya adalah salah seorang pelayan warung makan itu yang bernama Mira. Gadis berkulit bersih berambut sebahu itu baru setengah bulan menjadi pelayan di warung makan milik Bu Isah. Fahrul mengenal gadis itu sekitar seminggu yang lalu ketika sempat melayani Fahrul makan disana.
    Mira gadis yang ramah. Meski wajahnya tergolong biasa, namun sepertinya Fahrul tak bosan memandangnya. Pembawaan Mira yang tidak sombong, murah senyum, dan enak diajak ngobrol, membuat Fahrul menaruh hati terhadap gadis pelayan warung itu. Ketika Fahrul meminta nomor telpon genggam milik Mira, gadis itupun dengan mudah memberikannya.
    "Tolong nomer telpon saya jangan dikasihkan ke orang lain, ya bang," pesan Mira kala itu.
    Sehari saja Fahrul tak punya kesempatan memandang wajah Mira, rasanya ada sesuatu yang hilang didalam diri Fahrul. "Ah....andai saja aku bisa memilikinya," khayal Fahrul sambil mendesah membayangkan dirinya mendekap Mira.

    Kedatangan Yani membuyarkan lamunan sesaat Fahrul. “Ngapain kamu nongkrong disini sendiri gelap-gelapan ?” tegur Yani. “Lagi apes, nggak ada modal duduk di warung,” sahut Fahrul sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
    “Yan, kamu ada modal nggak ?” balik Fahrul. “Ada sih, nggak banyak, untuk apa ?” timpal Yani.
    “Kalo ada modal mending beli botol Topi Miring buat menghilangkan sumpek,” ajak Fahrul. “Boleh juga idemu,” singkat Yani.

    Yani mengeluarkan uangnya, kemudian memanggil salah seorang Tukang Ojek yang pangkalannya hanya belasan meter dari tempat mereka duduk. Yani memesan minuman keras merk Topi Miring dengan mengupah Tukang ojek tersebut. Sambil menunggu kedatangan minuman pesanan mereka, keduanya tampak serius membicarakan sesuatu.
    “Yan, gimana menurutmu jika aku mendekati Mira ?” tanya Fahrul minta pendapat.
    “Nggak masalah ! Tapi kamu mesti ulet, karena tampaknya para pengunjung beberapa diantaranya ada pula yang punya niat sama seperti kamu,” ungkap Yani.
    “Ah, paling-paling lelaki yang sering pakai mobil hitam itu” balas Fahrul.
    “Nah, itu dia ! Justru itu saingan beratmu,” timpal Yani.

    Selama beberapa hari memperhatikan warung makan Bu Isah, Fahrul selalu melihat mobil hitam parkir di depan. Biasanya mobil itu berada disana sekitar tengah hari, dan malam. Pemilik mobil selalu bersama temannya seorang pria dewasa berkulit sawo matang. Sedangkan pemilik mobil itu tak jauh beda dari temannya. Berperawakan sedang, tidak gemuk, bahkan terlihat agak kurus. Yang menarik dari pria itu adalah hampir setiap orang menyapanya. Dari beberapa orang yang Fahrul kenal mengatakan pria itu seorang pengusaha pertambangan batubara yang lagi naik daun.

    "Sebentar, aku mau periksa pesanan kita apakah sudah datang," Yani memotong pembicaraan mereka sambil beranjak.
    Beberapa saat kemudian Fahrul menampak Yani yang berjalan ke arahnya sambil menenteng bungkusan plastik berwarna hitam. Yani mengambil tempat duduk di sebelah kiri Fahrul yang agak terlindung dari penglihatan orang yang sedang lalu lalang di depan warung.
    “Kita minum dimana nih ?” tanya Yani.
    “Disini aja. Pesan teh es manis di warung sama beli kacang untuk peluncur,” jawab Fahrul.
    Yani meletakkan bungkusan plastik dekat kaki Fahrul. Kemudian ia melangkah menuju warung Bu Isah. Kebetulan yang melayaninya adalah Mira. "Pesan apa, bang ?" Tanya Mira sambil sedikit senyum.
    "Es teh manis 2 gelas," sahut Yani.
    Mira pun pergi ke belakang membuatkan pesanan Yani.
    Beberapa saat kemudian Mira kembali muncul sambil membawakan minuman pesanan Yani.
    "Ini minumannya, bang," ujar Mira sambil meletakkan gelas minuman diatas meja.
    "Berapa semua sama kacang garing 2 bungkus ?" Tanya Yani sambil merogoh dompetnya.
    "Semuanya 15 ribu," balas Mira sambil menyambut uang dari Yani.
    "Minumannya aku bawa dulu kesana, nanti dikembalikan," kata Yani sambil menunjuk ke arah dimana Fahrul kini berada.
    "Iya bang," singkat Mira.

    Kedua teman akrab itu pun menikmati Topi Miring yang barusan mereka beli. Sambil bergantian minum keduanya asyik terlibat dalam pembicaraan seputar Mira, gadis pelayan warung Bu Isah.
    “Bila nanti aku bisa menaklukkan hati Mira, aku akan bekerja sungguh-sungguh, dan akan berhenti mabuk,” angan Fahrul.
    “Yah mudah-mudahan kesampaian, aku sih mendukung aja,” sahut Yani simpati.
    Kira-kira setengah jam kemudian keduanya pun telah menghabiskan minuman mereka.
    “Kalo kamu masih ada modal, kita ikut nongkrong di warung Bu Isah,” ajak Fahrul berharap ke Yani.
    “Tenang aja, aku masih ada kok,” balas Yani yang mengerti keinginan sahabatnya.

    Keduanya melangkah menuju warung setelah merapikan botol bekas minuman. Fahrul menuju warung sambil membawa gelas minuman yang mereka pesan tadi. Ini sengaja ia lakukan agar bisa ketemu dan langsung mengembalikan gelas ke Mira. Reaksi Topi Miring yang telah ia tenggak terasa mulai naik ke syaraf otaknya. Semangatnya dipacu oleh minuman tersebut sehingga percaya diri Fahrul meningkat.
    “Sibuk banget nih !” sapa Fahrul sambil mengangsurkan gelas ke Mira.
    “Nggak juga !” singkat Mira.
    “Kami pesan kopi susu 2 gelas,” kata Fahrul.
    “Ya, sebentar,” sahut Mira.
    Fahrul pun melangkah menjauhi Mira yang sedang sibuk menyiapkan minuman. Ia mengambil tempat duduk disamping Yani.

    Malam semakin larut. Warung Bu Isah mulai ditinggalkan pengunjungnya satu per satu. Kini tinggal mereka berdua dan dua orang pengunjung lainnya. Kesibukan Mira dan temannya pun mulai berkurang.
    Meski warung mulai agak sepi, namun kedua pria yang rupanya naik mobil hitam itu tampaknya belum juga mau beranjak. Ia masih betah duduk dengan temannya sambil sesekali mengajak Mira berbicara.
    Fahrul hanya bisa memandang Mira yang sedang berbicara dengan pria tersebut. Padahal dalam hati Fahrul dirinya menginginkan agar semua pengunjung cepat berlalu dari warung. Sehingga ia punya kesempatan untuk dapat berbicara dan mengungkapkan isi hatinya kepada Mira.

    Sekian lama ia menunggu hingga dari kejauhan terdengar lantunan ayat suci dari sebuah mesjid, namun pria itu tetap masih betah di warung. Ada saja kesibukan pria tersebut. Kalau tidak asyik dengan ponsel BB-nya, pria itu tampak memainkan laptop yang dibawanya. Sementara teman pria itu sudah sedari tadi masuk kedalam mobil, mungkin ia sudah tertidur. Dan setahu Fahrul, pria yang jadi saingannya untuk mendapatkan Mira itu, sudah tiga kali menambah minuman.

    Melihat kenyataan seperti itu, sebetulnya terbersit rasa jengkel dalam hati Fahrul.
    "Sial, sialan sekali orang itu tak juga pergi-pergi, padahal aku ingin sekali mengajak Mira bicara," bisik hati Fahrul jengkel.
    Rasanya Fahrul ingin mendatangi pria itu, mengusirnya dan menyuruh pergi dari warung itu. Namun tentu saja itu tak ia lakukan.
    Sementara itu Mira duduk agak kedalam warung bersama seorang temannya sesama pelayan. Tampaknya Mira pun sudah mengantuk. Itu bisa Fahrul lihat dari beberapa kali mulut Mira menguap. Adapun Yani, sudah sejak beberapa saat tadi menelungkupkan kepalanya diatas meja, tampaknya ia jatuh tertidur.

    Reaksi Topi Miring yang diminum Fahrul telah hilang, kini berganti kantuk, apalagi angin subuh yang bertiup dingin. Fahrul tampak sudah beberapa kali menguap, matanya merah menahan kantuk. Namun demi ingin menatap wajah Mira, kantuknya itu ia tahan sedari tadi.
    Cuaca yang cukup dinginn itu rupanya membuat Yani terbangun. “Yuk kita cabut aja, aku ngantuk banget, besok aja lagi kalo mau nyamperin Mira,” ucap Yani sambil mengucek matanya.
    “Ya deh, kayaknya malam ini aku nggak punya kesempatan,” balas Fahrul.
    Yani pun kemudian beranjak dari duduknya untuk membayar minuman mereka, dan berlalu pulang.

    Meski perasaan kantuk menyerang Fahrul sejak tadi, namun sesampainya di rumah kost-nya, matanya tetap sulit terpejam. Pikirannya menerawang kemana-mana memikirkan bagaimana supaya dapat kesempatan mengungkapkan perasaan hatinya ke Mira.
    Hingga terdengar kokok ayam ramai bersahutan, mata Fahrul baru dapat terpejam.

    Siang itu Fahrul sedang berada di lokasi parkiran sambil mengawasi puluhan sepeda motor yang dijaganya.
    Yani datang dengan tergopoh-gopoh menemui Fahrul.
    ”Ada apa sih kok kayak penting banget ?” Tanya Fahrul setelah Yani duduk di sampingnya.
    “Ada kabar nggak enak,” jawab Yani setengah berbisik seolah takut didengar orang-orang sekitar.
    “Kabar apa, jangan bertele-tele,” ujar Fahrul tak sabar.
    “Tapi kamu jangan kaget mendengar berita ini,” balas Yani.
    “Sudah, langsung aja ngomong,” Fahrul semakin tak sabar.
    “Aku dapat kabar langsung dari mulut Bu Isah, Mira.......," Yani menahan ucapannya.
    "Mira kenapa ?" Tanya Fahrul penasaran sambil mengguncang bahu Yani.
    "Mira, dia dilamar oleh pria pengusaha tambang, dan Mira menerima,” ungkap Yani lirih.
    Kaget sekaligus kecewa menyatu menyergap perasaan Fahrul saat itu. Ia hanya bisa menengadah ke atas seolah menerawang ke langit. Gadis yang ia harapkan dapat mengisi relung hatinya, kini hanya meninggalkan harapan yang tak sampai.

    Dari desas desus yang Fahrul dengar dari beberapa pekerja warung makan di sekitar tempat Bu Isah, Mira akan dijadikan isteri muda pengusaha tambang itu. Beberapa orang amat menyayangkan keadaan Mira yng mau saja di-poligami. Namun yang lainnya ada pula mendukung keputusan Mira.
    “Seandainya aku yang dilamar, biar jadi isteri keberapa aja mau,” ujar Indah yang tampak agak centil.
    “Dasar kamu aja yang nggak bisa lihat cowok berduit,” cibir Maya cemberut.
    “Daripada terus jaga warung sampai bongkok, emang gue pikirin,” balas Indah tak mau kalah.
    “Sudah, sudah ! Mendingan kalian kembali ke warung masing-masing, siapa tahu nanti juga digaet bos berduit,” seru Bu Isah yang kupingnya terganggu oleh ocehan para penjaga warung yang lagi ngerumpi.

    Senja mulai beranjak petang dan gelap. Lampu warung mulai menyala kembali. Waktu terus merangkak tanpa pernah bisa surut ke belakang. Kehidupan pun terus bermula dan berputar. Warung Bu Isah kembali ramai dikunjungi. Namun ada yang kurang disana. Mira tak lagi tampak melayani para pengunjung. Mobil hitam itupun ikut lenyap dari halaman parkir. Yang masih ada adalah Fahrul dengan hati yang remuk redam oleh harapannya yang sirna seiring bunga pujaannya dipetik orang lalu.
    Yang setia menemani kedukaan hati Fahrul hanya Yani sahabat karibnya, dan Topi miring yang dapat melupakan kekecawaannya meski cuma sekejap.


    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


    Ayah, Aku Kecewa

    Oleh : Imi Suryaputera


    Aku meradang setelah mengetahui dari ibu, bahwa sepeda motor yang diperuntukkan untuk aku kuliah nanti telah dijual bapak. “Sialan ! Sialan sekali bapak !” Sumpahku.
    Sementara itu ibu hanya bisa diam mendengar serapahku.
    “Aku nggak jadi kuliah kalau begini,” ancamku dengan nada marah.
    “Sudahlah, pergi kuliah kan tak mesti naik sepeda motor,” nasihat ibu.
    “Nggak bisa, lebih baik batal kuliah daripada jalan kaki atau naik angkot,” rajukku.
    “Yah, terserahlah kalau kamu maunya begitu. Yang mau kuliah kan kamu, menyangkut masa depan kamu juga,” nasihat ibu lagi.
    “Lagian…..kenapa sih bapak dulu janji segala menyiapkan sepeda motor itu untuk aku kuliah. Sia-sia aku belajar keras sehingga bisa lulus,” sungutku dengan nada masih geram.
    “Kamu sudah lulus SMA. Nggak ada yang sia-sia. Coba bandingkan dengan beberapa temanmu yang tidak lulus, betapa sedih mereka dan orantua mereka,” nasihat Ibu mencoba meredakan kekecewaan dan kegeramanku.

    Beberapa minggu lalu, sebelum aku menempuh ujian akhir SMA, bapak janji akan menyerahkan sepeda motor yang dipakainya untuk aku pergi kuliah nanti di ibukota propinsi. “Biar kamu enak pergi ke tempat kuliah, sepeda motor itu bawa aja buat kamu kuliah nanti, itupun bila kamu lulus,” kata bapak waktu itu sambil menunjuk sepeda motor yang baru sekitar 4 bulan dibelinya, masih baru.
    Betapa senangnya aku mendengar perkataan bapak, dan aku berjanji dalam hati untuk belajar sungguh-sungguh mempersiapkan diri menghadapi ujian. Seandainya aku tidak malu, ingin rasanya aku melonjak dan menari-nari kegirangan atas perhatian dan pengertian bapakku.

    Kini aku benar-benar kecewa. Yah, kecewa berat, kecewa yang sangat teramat dalam. Rasanya aku tak ingin memaafkan bapakku.
    Bukan saja aku geram, marah dan kemudian meradang karena sepeda motor itu dijual bapakku. Lebih dari itu, ternyata menurut pengakuan ibuku, sepeda motor itu dijual oleh bapak uangnya dia pakai untuk menikahi seorang perempuan yang selama ini dicurigai ibu sebagai selingkuhan bapak.
    “Dasar perempuan sundal, bajingan, pelacur, perusak keluarga orang, penghancur masa depan !” Kutukku tak habis-habisnya.

    Aku tak habis pikir dengan ulah bapak. Tega-teganya ia menyakiti hati ibuku yang selama ini kutahu sangat baik dan sabar. Bapak juga kunilai sangat tega mengingkari janjinya kepadaku, membuyarkan harapanku untuk kuliah, meraih dan menyandang gelar sarjana seperti teman-temanku lainnya yang kuliah.
    “Kasihan sekali ibu,” keluhku dalam hati sambil menarik nafas panjang.
    “Biarlah Tuhan yang akan membuka mata, menyadarkan bapakmu kelak atas segala perbuatan dan perlakuannya terhadap kita,” ujar ibu sabar sambil susah payah menahan perasaan dan air matanya.
    “Sabarlah bu, Tuhan Maha Adil, ini ujian-Nya buat ibu, semoga ini bukan musibah,” hiburku sambil mendekap ibu.

    Sejak bapak menikah lagi, ia jarang pulang ke rumah kami. Bapak dalam seminggu pulang sekali ke tempat kami. Ia lebih banyak di rumah istrinya yang baru, ibu tiriku yang tinggal di kota lain yang jaraknya sekitar hampir 3 jam perjalanan naik kendaraan bermotor dari kota tempat kami tinggal.
    Aku pun sejak memutuskan tak kuliah karena kecewa, jarang pulang ke rumah. Aku lebih banyak kumpul-kumpul dengan teman-teman baruku yang mangkal di terminal. Kupikir sekalian kalau bapak pulang naik mobil taksi aku bisa tahu.

    Kepandaianku memainkan gitar membuat teman-teman baruku di terminal menyukaiku. “Gabung disini aja dengan kami biar hepi terus, nggak usah pulang,” kata Gepeng yang kedua lengannya penuh tato kepadaku.
    “Bisa aja, bro. Aku juga malas pulang,” sahutku.
    “Ikut tidur dengan kita aja di kost-kostan,” tawar Sam yang bertubuh tambun dan rambutnya disemir pirang.
    “Thanks bro,” balasku.

    Mereka teman-temanku di terminal induk di kotaku, kerjaan mereka adalah makelar pencari penumpang. Mereka tinggal di sebuah kost-kostan yang tak seberapa jauh dari lokasi terminal. Mereka tak ada yang punya isteri, masih seusia aku. Ada beberapa orang diantaranya Gepeng, Sam, Amur, Toni dan Asul. Mereka semua sudah akrab dengan kekerasan hidup dan minuman keras.
    “Ayo minum, sedikit aja, nggak bakal mabuk kok,” bujuk Amur sambil mengangsurkan setengah gelas minuman keras berwarna kuning teh cap topi miring.
    Aku cuma memandangi gelas itu dengan mata nanar sambil berhenti memainkan gitar.
    “Ayolah bro, coba aja dulu, nanti kalo terasa enak bisa nambah,” rayu Toni pula meyakinkan.
    “Iya, biar main musik dan nyanyinya tambah semangat,” timpal Asul yang bertindak sebagai pembagi minuman.
    Setelah berpikir agak lama, dengan pertimbangan setia kawan, aku pun meraih gelas minuman keras itu, ada keraguan dalam benakku, namun kuminum juga dengan perlahan. Susah payah aku menghabiskan setengah gelas minuman yang rasanya agak pahit campur sepat itu. Tenggorokanku seperti terbakar, perutku kontan terasa panas. Kepalaku pun terasa agak berat.
    “Gimana rasanya, enak kan ?” Ujar Gepeng.
    Aku tak menyahuti Gepeng. Dalam hatiku, “enak gundulmu, rasanya aja nggak keruan dibilang enak.”
    Rupanya Toni menangkap pikiranku, ia pun mengangsurkan kaleng minuman ringan dan sebungkus kacang garing. “Minum ini sambil makan kacang supaya hilang bekas minum barusan,” ujar Toni.
    Aku pun menuruti saran Toni. Lumayan, kepalaku rasanya agak normal.
    Itu pengalaman pertamaku menenggak minuman keras saat kami malam itu kumpul-kumpul di depan kost sambil main gitar dan bernyanyi hingga larut malam.

    Dari keseringan ikut menenggak Miras dengan mereka, sedikit-sedikit, kelamaan aku pun sudah mulai terbiasa. Dan aku pun sudah mulai melupakan kekecewaanku terhadap bapakku. Bila ada waktu, dan tak sedang dalam keadaan mabuk, ku sempatkan pulang ke rumah menengok ibu.
    “Dari mana saja kamu beberapa hari tidak pulang ?” Tanya ibu sambil memperhatikan pakaianku.
    “Biasalah bu, belajar cari kerja,” sahutku.
    “Beberapa hari kamu juga nggak ganti-ganti pakaian,” lanjut ibu terus saja memperhatikanku.
    Aku tak menyahut, aku berlalu ke kamar mandi. Aku ingat sudah 2 hari tidak mandi. Terakhir seingatku mandi di kamar mandi sebelah WC umum di terminal tanpa ganti pakaian selama 5 hari.

    Aku menikmati kehidupanku bersama teman-temanku di terminal. Aku pun mulai ikut dengan pekerjaan mereka. Beruntunglah ada seorang sopir taksi yang menyukaiku karena aku sering mencarikannya penumpang. Aku pun sering ikut mencucikan mobilnya bila sehabis mengantar penumpang dari kota propinsi. “Kamu bisa nyetir mobil, nggak ?” Tanya mas Rakhmat, sopir kenalanku itu.
    “Nggak mas,” jawabku.
    “Oooo…..nanti kalo ada waktu luang aku ajari nyetir mobil,” kata mas Rakhmat.
    “Wah, terima kasih sekali, mas,” ujarku dengan senang.

    Selama aku bergaul dengan teman-temanku di terminal, aku tak pernah cerita banyak menyangkut keluargaku dan pendidikanku. Aku pikir semua itu tidak perlu mereka ketahui, lagi pula mereka tak pernah menanyakannya.
    Aku pun sudah malas mengingat-ingat bapakku apakah ia pulang ke rumah atau tidak. Karena aku tahu selama ini meski bapak jarang memberi ibu uang, ibu tetap tak mengeluh, ibu tetap saja setia dengan pekerjaannya membuat dan berdagang kue.
    Sesekali aku pulang ke rumah cuma untuk menengok ibu dan kedua adikku si Irwan yang duduk di kelas 3 SD dan Mira yang kelas 5 SD.
    “Kakak kemana aja kok jarang pulang ?” Tanya kedua adikku.
    “Kakak kerja,” jawabku.
    “Berarti kakak punya duit, bagi dong, kak,” ujar keduanya sambil menadahkan tangan.
    Aku pun merogoh saku celanaku. Aku ingat tadi pagi dikasih mas Rakhmat 15 ribu karena mencarikannya 2 orang penumpang. Masing-masing adikku kuberi 5 ribu.
    “Horeeeee…..kami diberi kak Fahmi uang !” Seru keduanya sambil mengacungkan uang kertas itu keatas. Ibu yang menyaksikan kelakuan kedua adikku cuma tersenyum simpul.
    Ada perasaan bahagia menyeruak di dadaku menyaksikan kegembiraan adikku menerima pemberianku yang kunilai belum seberapa tapi dari hasil keringatku bekerja.

    “Hati-hati, pandai-pandailah membawa diri dalam bergaul. Jangan sampai ikut-ikutan perbuatan yang nggak-nggak,” nasihat Ibu usai kuceritakan dimana aku berada selama ini.
    Aku cuma menundukkan muka tak berani menatap mata Ibu yang seakan-akan sedang menyelidiki pikiranku.
    “Kehidupan di terminal itu keras. Masalah uang seribu perak saja orang-orang disana bisa main bunuh-bunuhan,” urai Ibu dengan nada khawatir.
    Lagi-lagi aku cuma bisa diam menunduk sambil pura-pura menyimak.
    Tapi aku pikir perkataan Ibuku memang ada benarnya. Dan aku pikir kata-kata Ibu barusan tak ada salahnya aku ingat dan ku camkan.
    “Kalo bisa mengalah, lebih baik mengalah saja. Mengalah itu tak selamanya buruk, mengalah untuk menang,” nasihat Ibu pula.

    Akhirnya keinginanku agar bisa menyetir mobil pun tercapai. Setelah beberapa kali diajari mas Rakhmat, aku pun mulai cakap dan mengerti cara-cara menyetir mobil.
    “Besok kalo kamu mau, bisa ikut aku ngantar penumpang ke Banjarmasin. Anggap aja jadi kenek sebelum benar-benar jadi supir,” tawar mas Rakhmat sambil tersenyum.
    “Mau, mau, mau sekali mas,” seruku kesenangan.
    Aku pun membayangkan besok akan melakukan perjalanan jauh. Membayangkan melihat kota Banjarmasin yang belum pernah kakiku kuinjakkan disana, selama ini aku cuma tahu Banjarmasin lewat cerita teman dan kenalanku.

    Malam tadi mataku sulit kupejamkan. Aku terus membayangkan akan bepergian jauh, menginjakkan kakiku dan menyaksikan kota Banjarmasin yang menurut cerita orang-orang sangat ramai.
    Apalagi tadi malam kami tak seperti biasanya kumpul-kumpul bermain gitar. Teman-temanku sedang dengan urusannya masing-masing. Gepeng pergi bersama seorang temannya. Toni katanya sedang mengapeli pacarnya. Amur sedang pulang kampung, tadi pagi ia ikut menumpang bis ke jurusan Kaltim. Tinggallah Aku, Asul dan Sam di kost-kostan.
    “Aku ingin istirahat aja malam ini. Besok aku mau ikut mas Rakhmat ke Banjarmasin,” ujarku ke Asul dan Sam yang sedang asyik ngobrol di bangku kayu dibawah pohon ketapang di depan kost-kostan kami.
    “Yo’i bro, dilanjut. Jangan lupa oleh-olehnya,” seru keduanya.
    “Beres !” Balasku sambil berlalu meninggalkan mereka berdua.

    Meski aku berusaha memejamkan mata, terasa sulit, pikiranku melayang kemana-mana. Hingga menjelang azan subuh, mataku tetap tak mau terpejam. Akhirnya kuputuskan ke kamar mandi. Byuuurrr…..akupun membasahi tubuhku. Terasa sangat dingin, aku menggigil tiap kali mengguyurkan air ke tubuhku. Ini kulakukan agar aku tidak mengantuk.
    Usai mandi aku mengeluarkan baju dan celana yang baru kubeli beberapa hari lalu yang belum sempat kupakai. Tampak Sam, Asul, dan Toni yang sedang nyenyak tidur. Tak kulihat Gepeng tidur diantara mereka. Kupikir Gepeng tidur di tempat temannya, memang akhir-akhir ini dia jarang tidur bersama kami. Katanya ia diajak oleh temannya itu ke tambang batubara tempat temannya itu kerja.

    “Wah sudah rapi sepagi ini,” tegur mas Rakhmat.
    “Ya iyalah mas, kan mau pergi pesiar ke kota,” gurauku. Mas Rakhmat cuma senyum simpul mendengar gurauanku.
    “Oke deh, seperti biasa cari penumpang dulu biar kita cepat berangkat,” ujar mas Rakhmat.
    “Siap, Bos !” Sahutku sambil menyilangkan tangan kanan di dahi.

    Akhirnya sampai juga aku di kota Banjarmasin. Setelah menurunkan penumpang di terminal induk kota itu, mas Rakhmat mengajakku ke rumahnya, memperkenalkan aku kepada keluarganya. Mas rakhmat pun mengajakku jalan-jalan melihat-lihat kehidupan kota. Ia mengajakku ke pasar induk, ke mall, dan mengunjungi jembatan Barito yang membelah sungai terbesar di Indonesia. Banyak warga yang sama berkunjung ke jembatan itu, menyaksikan lalulintas di air sungai.

    Hari ini aku kembali mengunjungi kota Banjarmasin. Tapi aku tak bersama mas Rakhmat lagi. Aku mengunjungi kota itu bersama isteri dan seorang anak lelaki yang sudah berumur sekitar 8 tahun. Aku tak lagi datang menumpang mobil taksinya mas Rakhmat, aku datang dengan mobil rental yang aku sewa untuk beberapa hari. Aku menyempatkan mengajak keluarga kecilku liburan menghabiskan masa cutiku dari perusahaan tambang batubara tempatku bekerja dalam 4 tahun terakhir. Aku diterima bekerja di perusahaan batubara terbesar di kotaku sebagai sopir angkutan batubara.

    Aku dan keluargaku pun menyempatkan mengunjungi keluarga mas Rakhmat yang sudah berhenti jadi sopir taksi. Ia berhenti membawa mobil, membuka usaha kios kecil dan air isi ulang di depan rumahnya.
    Adapun teman-temanku di terminal dulu, Sam masih betah disana jadi makelar. Amur, beberapa bulan setelah aku menikah, ia pulang ke kampungnya di sebuah kota kabupaten di Kaltim. Gepeng, menurut teman-teman disana, dia ikut temannya bekerja di tambang lokal. Toni buka usaha warung kopi bersama isterinya di sekitar terminal setelah menikahi anak bu Narti pemilik warung dimana kami sering ngutang sarapan. Sedangkan Asul, menurut cerita Toni, juga bekerja sebagai sopir angkutan batubara di sebuah perusahaan yang berada diluar pulau.

    Sayangnya kesuksesanku tak sempat dinikmati oleh Ibuku, beliau meninggal dunia beberapa bulan sebelum aku diterima bekerja di perusahaan. Ibuku ditabrak sebuah sepeda motor yang melaju kencang saat beliau akan menyeberang jalan, ibuku tewas sekitar 2 jam kemudian di rumah sakit. Bapakku kembali ke rumah kami dengan memboyong ibu tiriku yang sudah memiliki seorang anak perempuan. Kedua adikku pun diasuh oleh ibu tiriku itu. Dan aku pun sudah melupakan segala kekecewaanku terhadap bapak, dan sumpah serapahku terhadap ibu tiriku.
    Hanya saja suksesku tidak utuh tanpa sempat ikut dinikmati Ibuku, Ibu yang sangat sabar dan tabah. “Semoga kau mendapat kebahagiaan di alam sana, menyaksikan sukses anakmu ini dari alam yang berbeda, suksesku untuk engkau, Ibu,” gumamku dengan sendu.


    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


    Merangkai Angka Harapan

    Oleh : Imi Suryaputera


    Rusdi bangun agak kesiangan. Jam dinding menunjukkan pukul 09.40 waktu setempat. Rusdi terjaga dari tidurnya pun karena suara nyaring mesin motor yang meraung-raung berasal dari bengkel sebelah rumahnya.
    “Sialan tuh bunyi motor, bikin orang bangun aja,” gerutu Rusdi.

    Tadi malam Rusdi tidur agak larut, sekitar pukul 03.20 dini hari. Sejak usai waktu shalat isya setelah makan malam, Rusdi sudah nongkrong di depan tipi (TV). Sambil nonton acara sinetron favoritnya yang tayang di sebuah stasiun tipi swasta, tak lupa Rusdi menyediakan kertas dan ballpoint untuk coret-coret prediksi angka togel (toto gelap) yang akan keluar besok malam.

    Sudah sekitar empat bulan terakhir Rusdi nyambi profesi jadi pengedar dan penjual togel selain tetap sebagai tukang ojek.
    Selain mengedar dan menjual togel ke para pemasang, Rusdi juga jadi pembeli. “Lumayan kalo pas lagi beruntung dan tepat tebakan. Kan duit yang dipakai beli itu hasil dari komisi penjualan,” kata Rusdi ke isterinya Minah.
    “Iya kalo kena terus, kalo lepas terus, sama juga nggak ada hasil apa-apa,” sungut Minah yang kurang senang dengan perkataan suaminya yang sok yakin bisa kena.
    “Namanya juga usaha, dik,” sahut Rusdi membela diri.
    “Terserah, yang penting beras dan keperluan makan jangan sampai habis,” Minah memperingatkan dengan muka masam seasam rasa jeruk purut.

    Tadi malam sebelum tidur, Rusdi sudah mengantongi angka-angka yang akan ditebaknya hari ini hasil coret-coretannya. Angka main 9, 1, 2, 5, ekor ganjil, kepala genap. “Untuk tebakan 2 angka bagusnya 95, karena kemarin yang keluar angka kembar 33, angka kecil, pasti nanti yang bakal keluar angkanya besar,” tebak Rusdi dalam hati.
    Angka jadi 95 Rusdi tulis di kertas lapisan bungkus rokok, lalu ia masukkan ke dompetnya. Ia mesti nelpon Misran, temannya yang tebakan angkanya sering jitu.
    “Mis, berapa angka mainmu hari ini ?” Telpon Rusdi.
    “Angkaku hari ini cuma dua; 1 dan 5, tapi aku cenderung memainkan 5 aja,” balas Misran.
    “Oke kalo begitu, angka mainku 9, 1, 2, 5,” sahut Rusdi.
    “Mantap itu, tinggal gabungkan aja angka main kamu dengan punyaku,” balas Misran lagi yang kemudian menutup percakapan.
    “Mantap, betul-betul sudah mantap tebakan 2 angku hari ini. Aku akan beli 10 lembar kupon, lumayan kalo tepat bisa dapat 600 ribu,” angan Rusdi dengan wajah senyum-senyum.

    Saat bangun tidur tadi, Rusdi tak melihat isteri dan kedua anaknya. Minah, isteri Rusdi sedang pergi ke pasar, dan kedua anaknya pun sudah turun ke sekolah ketika Rusdi masih nyenyak tidur.
    Setelah cuci muka, minum segelas air putih dan menyulut sebatang rokok, Rusdi pergi keluar rumah. Ia akan ke tempat Muhtar, tangan kanan Koh A Kay, pengepul togel. Rusdi akan mengambil kupon kosong untuk jualan hari ini. Beberapa pemasang langganannya di Gang Sukaramai biasanya sekitar jam 11.00 sudah kumpul di gardu Siskamling menanti kedatangannya.

    Rusdi melihat jam tangannya, pikirnya masih ada waktu setengah jam untuk menemui para pemasang langganannya. Ia pun memutuskan ke warung Bu Painem, warung langganannya yang selalu ramai pengunjung karena pembantu Bu Painem yang lumayan manis, Narsih, janda beranak satu.
    “Siapa tahu para pengunjung di warung ada yang mau beli,” pikir Rusdi.
    Dalam menjalankan profesinya, Rusdi mesti lihat-lihat dulu siapa calon pembelinya. Karena bila tak hati-hati dan tak jeli, bisa saja calon pembelinya itu polisi berpakaian preman, atau polisi yang sedang menyamar cari mangsa.

    Warung Bu Painem sedang ramai pengunjung yang kebanyakan adalah para karyawan perusahaan tambang batubara yang sedang “off” maupun yang kena giliran shift malam. Beberapa orang ada yang kenal Rusdi.
    “Minum dulu, bos,” sapa seorang pengunjung yang sedang duduk tak seberapa jauh dari Narsih si janda pelayan warung.
    “Terima kasih,” sahut Rusdi mengambil tempat yang agak menghadap ke tempat duduk Narsih, supaya enak memandang si janda yang murah senyum itu.
    “Minta kopi sama mie gorengnya, mbak,” pesan Rusdi.
    Sambil menunggu pesanannya Rusdi menawarkan jualannya ke beberapa orang pengunjung.
    “Belum ada angka tebakannya, bos,” ujar seorang pengunjung yang ditawari Rusdi.
    “Beli aja angka favorit, atau angka simpanan. Bila mau saya kasih angka jadi 95,” tawar Rusdi lagi.
    Beberapa orang pengunjung lainnya tampak tertarik dan mendekat.
    “Boleh beli berapa duit, mas ?” Tanya seorang pengunjung yang duduk paling pojok dekat pintu.
    “Untuk selembar kupon bisa beli seribu perak, terserah mau 2 angka, 3 angka, atau 4 angka. Kalo beli 2 angka seribu perak bila tepat dapat 60 ribu, 3 angka seribu perak bisa dapat 350 ribu, sedangkan 4 angka seribu perak mendapat 2,5 juta,” jelas Rusdi bersemangat agar mereka tertarik.
    “Pemutarannya jam berapa, mas ?” Tanya pengunjung lainnya.
    “Nanti malam sehabis waktu isya. Telpon aja ke saya, nanti saya kasih nomer telpon supaya bisa tahu angka yang keluar,” sahut Rusdi.
    “Terus kalo misalnya tebakannya tepat, kita ngambil uangnya kemana ?” Tanya mereka.
    “Ya itu tadi, telpon saya aja, nanti uangnya akan saya antarkan asalkan bukti pembeliannya ada nggak hilang,” jelas Rusdi pula.
    Para pengunjung yang tampak tertarik itupun manggut-manggut tanda mengerti.
    “Untung-untungan, saya coba angka punya mas itu 95 untuk 10 kupon, berarti 10 ribu, ya mas. Anggap aja kalo lepas sama kayak beli sebungkus rokok,” kata seorang pengunjung sambil menyerahkan selembar uang.

    Berkat mampir di warung Bu Painem, Rusdi berhasil memperoleh 120 ribu dari menjual dagangannya. Ada 6 orang pemasang pemula yang membeli kupon togel-nya. Ini artinya Rusdi sudah bisa mengantongi komisi penjualan sebesar 12 ribu.
    Selanjutnya tujuan Rusdi adalah menemui para pemasang langganannya di gang Sukaramai. Biasanya disini Rusdi bisa mengumpulkan uang paling sedikit 300 ribu.

    “Jangan lupa datangi aku ke rumah. Aku mau pasang, ada angka bagus,” bunyi SMS dari Ahyar, seorang wartawan kenalan Rusdi.
    Wartawan di sebuah koran mingguan ini, biasanya paling sedikit beli 100 lembar kupon dengan tebakan angka bervariasi dari 2 angka, 3 angka, hingga 4 angka.
    Dalam tiap kali pemutaran angka, Ahyar hampir tak pernah absen memasang angka tebakannya. Selama ini seingat Rusdi, tebakan Ahyar sering tepat. Dan Rusdi sangat senang bila tebakan Ahyar kena, ia selalu dapat bagian, 50 ribu hingga lebih, tergantung banyak sedikitnya Ahyar kena tebakan.
    “Pasti saya kesana, bos,” balas Rusdi.

    Seusai melayani para langganannya di gang Sukaramai, Rusdi mendatangi rumah Ahyar, wartawan yang memanggilnya.
    “Berapa angkanya hari ini, bos ?” Tanya Rusdi ke Ahyar.
    “Hari ini angka mainku 9 sama 1 ganti salah satunya,” sahut Ahyar yang sedang menarik dompetnya dari saku mengambil uang.
    “Angka jadinya berapa, bos ?” Tanya Rusdi lagi sambil menyiapkan kupon kosong dan ballpoint.
    “Aku pasang 2 angka aja hari ini, 14 dan 41, masing-masing 75 ribu,” balas Ahyar sambil menyerahkan uang 150 ribu.
    “Nggak masang 3 angka sama 4 angkanya, bos ?” Tanya Rusdi pula, karena biasanya Ahyar juga pasang untuk 3 dan 4 angkanya.
    “Nggak untuk kali ini. Aku yakin sekali 2 angka saja,” sahut Ahyar.
    Rusdi pun menuliskan angka tebakan untuk Ahyar.
    “Gimana kabarnya bos-mu ?” Rusdi menanyakan tentang Muhtar, tangan kanan Koh A Kay si pengepul togel.
    “Ada aja di rumahnya waktu aku mengambil kupon tadi,” balas Rusdi.
    “Kalo kamu nanti kesana mengantar rekap ke dia, kasih tahu aku mau ketemu. Dia sudah beberapa kali belum kasih jatah. Kalo setor jatah ke polisi lancar, setor ke aku sering nunggak,” kata Ahyar.
    “Iya, nanti aku sampaikan ke bos,” sahut Rusdi pula.

    Usai waktu shaat isya Rusdi menelpon Muhtar, menanyakan berapa angka togel yang keluar malam ini. Dari Muhtar diketahui angka yang keluar adalah 14. “Huh, lepas lagi tebakanku,” keluh Rusdi sambil mengambil kupon yang ia simpan di dompetnya, kemudian merobeknya.
    Tapi raut mukanya yang tadinya kecewa merubah jadi senyum. Karena ia ingat tebakan 2 angka milik Ahyar tembus 75 kupon. Ini artinya ia harus mengambilkan uang Ahyar sebanyak 4,5 juta. Lalu ia juga membuka copy rekapan seluruh tebakan yang ia jual. Ia periksa seluruh angka tebakan yang tertera disana satu per satu dengan teliti. Setelah ia hitung, ada beberapa pemasang yang juga tebakannya tembus. Ada sebanyak 200 kupon 2 angka yang tembus selain milik Ahyar. Untuk pasangan 3 dan 4 angka, malam ini tak ada selembar pun tembus. Malam ini ia akan mengambil uang keseluruhan sebanyak 16,5 juta.

    “Ini jatahmu,” kata Ahyar sambil mengangsurkan 2 helai uang seratusan ribu ke Rusdi.
    “Terima kasih, bos. Tebakannya jitu terus, nanti aku ikut nembak angkanya bos aja,” ucap Rusdi sambil menerima uang pemberian Ahyar.
    “Tembak aja, siapa tahu nanti rejeki,” sahut Ahyar sembari memasukkan uang hasil tebakan togel ke dompetnya.

    Rusdi menghitung-hitung uang hasil pemberian dari para pemasang yang kena malam ini, semuanya berjumlah 470 ribu, belum ditambah uang hasil komisi penjualan. “Lumayan. Nembak lepas 10 kupon, tapi gantinya berlipat-lipat. Kalo begini biar aja tuh pemasang pada kena terus setiap pemutaran,” harap Rusdi.



    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


    Kamu Tak Hebat, Tak Kebal Hukum

    Oleh : Imi Suryaputera



    “Kamu pikir kamu itu hebat, kebal hukum ?” Bentak Sofyan dengan suara keras dan mata melotot.
    “Anggota polisi saja sudah banyak yang dipecat dan dihukum karena tertangkap memakai narkoba, apalagi kamu !” Tuding Sofyan sambil menunjuk ke arah Herman, anak buahnya, wartawan pada perusahaan media yang dipimpinnya.
    “Bikin malu saja. Bila masalahmu tak juga bisa diurus dengan Kapolsek, kamu siap-siap dihukum dan dipecat,” suara Sofyan masih meninggi.

    Sore tadi Sofyan menerima SMS dari seorang anak buah lainnya bahwa Herman yang ia tempatkan bertugas tetap di sebuah kota kecamatan, diamankan anggota Polsek setempat. Herman bersama seorang temannya ditangkap di kediamannya, kedapatan sedang mengkonsumsi narkoba jenis Sabu. Begitu bunyi SMS lengkap yang dikirim oleh Roni yang bertugas di kota kecamatan lain.

    Sebelum berangkat dari ibukota kabupaten ke kota kecamatan dimana Herman ditahan, sebelumnya Sofyan sudah menghubungi AKP Muryanto, Kapolsek setempat. Sofyan menanyakan keadaan Herman dan menyinggung kemungkinan Herman bisa dibebaskan dengan jaminan tanpa harus diteruskan hingga ke pengadilan.

    Sofyan kenal baik dengan AKP Muryanto sejak Kapolsek itu masih berpangkat Sersan Satu Polisi. Kini ia sedang berada di ruangan Kapolsek tersebut. Ruangan kerja yang cukup luas dengan meja kerja cukup besar dan seperangkat sofa untuk tamu. Meski terpasang AC, penyejuk ruangan, namun Kapolsek membuka jendela ruangan yang menghadap ke jalan umum, sehingga bisa melihat kendaraan dan orang lewat disana. “Silakan bila ingin merokok,” tawar Kapolsek.
    “Terima kasih,” sahut Sofyan sambil mengeluarkan rokok kemudian menyulutnya.
    “Mas Sofyan mau minum apa ?” Tanya Kapolsek.
    “Apa saja boleh,” balas Sofyan.
    Kapolsek pun memanggil seorang Banpol. “Tolong bawakan kopi 2 gelas,” perintah Kapolsek.
    “Siap pak !” Sahut Banpol itu.

    “Gimana kira-kira, mas. Apa yang bisa saya bantu ?” Tanya Kapolsek.
    Sofyan tak serta merta menjawab pertanyaan Kapolsek. Ia hisap rokoknya dan kemudian menghembuskan asapnya perlahan sambil memikirkan kalimat yang tepat untuk memulai pembicaraan.
    “Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya melalui pembicaraan kita di telpon, pak Kapolsek tentu sudah menduga apa yang akan saya bicarakan,” Sofyan memulai pembicaraannya.
    AKP Muryanto hanya manggut-manggut sambil mengisap rokoknya.
    “Santai saja, mas. Saya pasti bantu sebisa saya, asalkan tak apa-apa dengan tugas saya di kemudian hari,” kata Kapolsek menenangkan Sofyan yang sebenarnya sangat gelisah atas kejadian yang menimpa salah seorang anak buahnya ini, karena ini menyangkut kredibilitas dirinya selaku pimpinan dan pertaruhan profesinya sebagai seorang wartawan senior.

    Sebetulnya Sofyan bisa lepas tangan begitu saja dengan memecat anak buahnya itu. Namun sebagai pimpinan yang bijak, itu tak dilakukannya. Lagi-lagi Sofyan mengingat kredibilatasnya apakah ia mampu menyelesaikan masalah sebelum jalan keluarnya buntu.
    “Kalau boleh tahu, barang bukti apa saja yang didapat saat penggerebekan itu ?” Tanya Sofyan ingin tahu jelas.
    “Petugas kami menemukan alat bukti berupa alat hisap, korek api gas, dan pipet penghisap minuman,” urai Kapolsek.
    “Apakah barang bukti berupa narkoba juga ditemukan saat itu ?” Tanya Sofyan pula.
    “Itulah mas, petugas kami tak menemukan barang bukti berupa narkoba. Kemungkinan petugas kami datang setelah mereka berdua usai memakai,” jelas Kapolsek, berhenti sejenak sambil menyeruput kopinya.
    “Silakan diminum kopinya dulu mas, baru kita lanjutkan lagi,” ujar Kapolsek.
    “Hasil tes urine yang kami lakukan, keduanya positif menggunakan salah satu jenis narkoba. Tak adanya barang bukti berupa narkoba yang ditemukan, disinilah celah yang bisa kami tempuh untuk melepas anak buah mas Sofyan dan temannya itu,” urai Kapolsek memberi harapan.
    Sofyan mulai agak lega mendengar uraian AKP Muryanto.
    “Yang perlu saya ketahui adalah, apakah sudah ada pihak media yang mencium masalah ini ?” Tanya Kapolsek.
    Sambil menyalakan rokoknya kembali, Sofyan menjawab, “saya pastikan masalah ini belum tercium pihak media. Kalaupun ada diantaranya yang terlanjur tahu, saya akan coba loby mereka untuk tak mengekspose masalah ini.”

    Berkat kegigihan Sofyan meyakinkan AKP Muryanto untuk melakukan pembinaan terhadap anak buahnya, Herman dibebaskan dengan sebuah surat pernyataan yang harus ditanda tangani dan dipatuhi.
    “Dalam hal ini kami tak cuma membebaskan anak buah mas Sofyan, temannya pun mesti kami bebaskan juga agar tak kentara,” ucap Kapolsek.
    “Iya pak Kapolsek. Saya sangat berterima kasih atas bantuan dan pengertiannya,” kata Sofyan.
    “Sama-sama, mas. Saya juga berharap bantuan dan kerjasamanya,” balas Kapolsek.
    “Pasti, kami pasti selalu bersedia membantu dan bekerjasama, pak,” kata Sofyan lagi, keduanya pun bersalaman.

    Herman akan dilepas setelah menanda tangani surat pernyataan. Sedangkan temannya dilepas dengan sejumlah uang jaminan.
    Sofyan tak mau tahu terkait uang jaminan yang dibayarkan oleh orangtua temannya Herman. Sofyan pikir itu urusan internal Kapolsek. “Mereka sudah bersedia membantu membebaskan dan melepaskan Herman saja, ini sudah suatu hal yang sangat berarti dan berharga,” bathin Sofyan.

    Atas kesepakatan dan anjuran AKP Muryanto, Herman tak langsung dibebaskan setelah menanda tangani surat pernyataan, tapi diinapkan dulu dalam sel tahanan. “Biar kita kasih shock therapy dulu, agar dia berpikir atas perbuatannya,” ujar Kapolsek yang diamini oleh Sofyan.

    Sebelum meninggalkan Mapolsek, Sofyan menemui Herman di sel tahanannya. “Kamu akan dilepas besok siang. Kali ini kamu beruntung Kapolsek mau membantu. Jika tidak, kamu bisa dipenjara bertahun-tahun atas kebodohanmu. Jika sampai terulang lagi, aku pasti tak akan mengurusimu lagi,” wejang Sofyan, sementara itu Herman berikut temannya cuma bisa menunduk tanpa berani mengangkat muka.
    “Baiklah, aku pulang dulu. Ingat dan camkan kata-kataku barusan,” ucap Sofyan sambil berlalu meninggalkan sel tahanan.

    Selepas shalat isya Sofyan meninggalkan Mapolsek, balik ke ibukota kabupaten yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan dengan mobil. Sambil menyetir Sofyan masih sempat membayangkan Herman yang sempat ia marah-marahi. Ia tak habis pikir kenapa anak buahnya itu bisa terjerumus seperti itu. “Kemungkinan Herman salah memilih teman dan terpengaruh oleh ajakan temannya,” pikir Sofyan.
    Ia pun tak habis pikir peredaran narkoba yang seakan tak ada habis-habisnya. Padahal setahu dia sudah banyak penjual maupun pengedar yang ditangkap dan dipenjarakan. Bahaya narkoba seolah mengepung masyarakat, mengintai dan mengintip setiap orang untuk mendekati dan menggunakannya. “Say no to drug seolah tak berdaya dengan kegigihan para penjual dan pengedar serta bandar narkoba,” bisik hati Sofyan.



    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


    Surat Cintaku di Selembar Bungkus Obat Nyamuk Bakar

    Oleh : Imi Suryaputera


    Ada perasaan senang tanpa embel-embel lain saat kuterima balasan surat dari Nana, tetanggaku. Isi balasan surat itu sangat pendek, menurutku teramat pendek, “setelah kubaca suratmu, perasaanku juga sama, I love you,” bunyi surat balasan itu.

    Dua hari lalu aku menulis sepucuk surat diatas sehelai kertas bekas pembungkus obat anti nyamuk cap burung phoenix dan naga. Ini kulakukan setelah tak menemukan sehelai kertas pun untuk menulis surat cinta pertamaku.

    Hari itu aku sedang berada di rumah temanku, Edy yang merayuku agar aku mau menulis surat cinta sebisaku. Aku tak berpikir apakah pantas atau tidak menulis surat cinta di sehelai kertas yang hanya bekas pembungkus obat anti nyamuk bakar. “Yang penting isinya, bukan kertasnya kan,” cetus Edy.

    Aku pikir kata-kata Edy ada benarnya, namun perbuatanku yang tak lazim.

    Kala itu aku dan Edy sedang duduk-duduk di teras rumahnya. Hujan rintik di bulan April menetes dari subuh hingga menjelang tengah hari. Matahari yang biasanya garang membakar bumi, lenyap bersembunyi dibalik awan mendung.

    Dua gadis tanggung berpayung menembus rintik hujan, berjalan melewati jalan depan rumah Edy dimana kami berdua sedang duduk bercengkerama.

    “Sssttt, diam sebentar. Itu ada gadis lewat,” sentak Edy sambil menyentuh bahuku.

    Aku yang duduk membelakangi jalan pun berpaling ke arah yang ditujukan Edy.

    Gadis tanggung, yang seorang mengenakan baju terusan warna coklat muda, berkulit sawo matang, berambut hitam sebahu, cukup manis. Yang seorang lagi, memakai busana underrock dipadu dengan kemeja warna krem, berambut pendek, berkulit agak kuning, sama manisnya. Keduanya berjalan lambat-lambat sambil bercengkerama satu sama lain.

    Gadis yang berambut panjang itu sering kulihat lewat depan rumahku, setiap hari pergi dan pulang sekolah. Gadis itu tetanggaku berjarak sekitar 15 rumah, namun aku tak pernah bertegur sapa dengannya. Disamping itu sekolah kami berlainan, aku di SMP 1, sedangkan gadis tetanggaku itu di SMP 2.

    “Hujan, mampir aja dulu !” Seru Edy yang sok kenal kepada dua gadis itu.

    “Terima kasih,” sahut yang berambut pendek dari jarak sekitar kurang dari sepuluh meter.

    Keduanya tetap meneruskan perjalanannya, namun yang berambut pendek itu tersenyum kepada Edy seperti menyimpan sesuatu.

    “Kamu kenal sama yang berambut pendek itu ?” Tanyaku ke Edy yang cengar cengir kesenangan.

    Edy bukannya menjawab pertanyaanku, malah turun dari teras ke arah jalan sambil melambaikan tangan ke arah kedua gadis itu. Aku lihat gadis berambut pendek itu balas melambai dari jauh.

    “Sialan ! Jangan-jangan si Edy ini kenal gadis-gadis itu,” sungutku dalam hati.

    “Ah cuma begitu aja senangnya bukan main,” sindirku sebal setelah Edy duduk kembali di teras.

    “Ya iyalah senang hatiku, yang rambut pendek itu kan pacarku,” sahut Edy tersenyum lebar sambil memegangi dadanya.

    “Pantas aja,” kataku dengan suara datar tanpa ekspresi.

    “Yang satu itu, teman pacarku itu kan tetanggamu ?” tanya Edy.

    “Iya, memang kenapa ?” Balikku tanya.

    “Dia itu teman akrab satu sekolah dengan pacarku, belum ada pacarnya lagi,” terang Edy sambil senyum menunggu reaksiku.

    “Biarkan aja, nggak ada hubungannya denganku, kan ?” Balasku.

    “Itu dia, justru belum ada hubungannya makanya kamu mesti menjalin hubungan,” kata Edy senang.

    Edy membujukku agar mau berhubungan, singkatnya pacaran dengan gadis tetanggaku itu. “Aku kan belum pernah pacaran, lagian pacaran itu gimana aku nggak ngerti,” dalihku menolak bujukan Edy.

    “Dasar kamu aja ketinggalan, pacaran aja nggak tahu, tahunya cuma sekolah dan belajar aja,” Edy menyindirku dengan nada kecewa.

    “Memangnya menurut kamu dia itu mau pacaran sama aku, gimana caranya ?” Tanyaku.

    Mendengar pertanyaanku, wajah Edy berseri. “Tulis surat aja, nanti aku kasihkan ke dia lewat pacarku,” sahut Edy senang.

    “Tapi aku juga belum pernah nulis surat untuk minta pacaran,” sahutku pula.

    “Payah kamu, gitu aja nggak bisa, tulis aja sebisa kamu, atau nanti aku ajari,” tawar Edy sambil ngomel.

    “Ya deh, terserah kamu aja gimana baiknya,” ujarku menyerah pada kemauan Edy yang tambah senang.

    “Nah begitu, itu baru namanya sahabat. Jadinya aku ada teman pacaran,” kata Edy sambil ngajak tos tangan.

    Itu kenangan yang tak pernah kulupa. Kenangan itu sudah melewati masa lebih dari 30 tahun lalu.

    Aku sering membayangkan betapa lucunya aku kala itu. Pacaranku dengan gadis tetanggaku adalah pacaran antara siswi kelas satu SMP denganku yang duduk di kelas tiga SMP. Pacaran kami berdua adalah pacaran dengan bareng-bareng turun ke sekolah yang kemudian berpisah di persimpangan jalan saling melambaikan tangan untuk menuju sekolah masing-masing. Pacaran kami adalah jalan bersama tanpa pegangan tangan, saling menjaga jarak. Pacaranku dengan dia adalah saling bercanda sambil belajar bersama.

    Bila mengingat semua itu, aku jadi geli sendiri, senyum-senyum sendiri. Membayangkan pacaran model kami jaman itu yang tak ubahnya berteman saja, tak ada rasa cemburu, tanpa curiga. Perasaanku senang saja bila kami saling bertemu. Kalaupun beberapa hari aku tak ketemu dia, tak ada perasaanku khawatir, aku pikir paling-paling dia sibuk belajar sendiri atau membantu orangtuanya di rumah.

    Pacaranku singkat, aku harus berpisah dari gadis tetanggaku itu. Aku lulus SMP, melanjutkan ke kota lain yang cukup jauh. Perpisahan kami tanpa kata putus, tanpa derai air mata, tanpa lambaian tangan mengiringi kepergianku, tanpa pelukan, tanpa apa-apa. Aku pergi begitu saja meninggalkannya. Aku pikir dia akan mengetahuinya dari orangtuaku nanti.

    Di sekolahku yang baru, aku banyak dapat teman baru. Sesekali aku bisa juga ingat dia bila aku sedang sendiri menjelang tidur. Namun aku tak berlama-lama mengingatnya, sekolahku lebih penting dari apapun. Aku tak ingin mengecewakan orangtuaku yang sudah bersusah payah bekerja membiayaiku. “Bila sudah tiba masanya nanti dengan sendirinya aku bisa juga seperti orang yang sudah dewasa,” hiburku dalam hati sambil memejamkan mata.

    “Pacarmu sudah diambil orang lain,” ungkap Edy ketika aku pulang kampung liburan sekolah.

    “Biarlah. Aku kan sudah tak tinggal disini lagi,” sahutku datar.

    “Kok begitu ? Kamu nggak cemburu ? Kamu nggak sakit hati ?” Cecar Edy.

    “Nggak ! Dia bebas memilih,” balasku masih dengan suara datar.

    Edy tampak heran mendengar jawabanku yang tanpa ekspresi apapun.

    “Kamu sendiri gimana dengan pacarmu itu ?” Tanyaku.

    “Aku masih,” jawab Edy.

    Edy masih bersekolah satu kota dengan pacarnya, karena Edy baru naik ke kelas tiga SMP.

    “Syukurlah kalo masih,” cetusku.

    Kini setelah aku menikah dan memiliki anak, menjadi orangtua, aku justru lebih sering mengingat-ingat gadis tetangga itu. Aku tak tahu apakah itu pacar pertamaku, atau cinta pertamaku, tak penting buatku. Aku membayangkan seperti apa dia kini setelah sama-sama menjadi orangtua, apakah dia masih cantik.

    Aku bertanya-tanya dalam hati, dimanakah dia kini gerangan, siapa dan bagaimana suaminya, anaknya sudah berapa, apakah bila kami bertemu masih saling kenal.

    Entahlah, pertanyaan itu cuma kusimpan saja dalam hati. Kenangan itu biarlah kukubur saja dalam pikiran dan anganku. Aku tak terlalu berharap dapat ketemu dia lagi, namun jika Tuhan mempertemukan kami, terima kasih Tuhan, berarti Engkau mengijinkan aku menatap wajahnya yang sudah mulai menampakkan kerutan.


    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


    Kafir !

    Oleh : Imi Suryaputera


    “Kamu kafir !” Tuding Maman, teman yang sudah sejak lama kukenal.
    Hampir saja gelas berisi separuh teh hangat yang ada di depanku aku lemparkan ke arah Maman, andai saja Rahim temanku yang lain tak keburu menangkap lenganku.
    “Sabar, sabar, sabar Kim,” cegah Rahim sambil terus memegangi lenganku.
    “Jaga mulutmu yang beracun itu !” Sengitku ke Maman sambil menunjuk mukanya dengan tangan kiriku.

    Untuk menghindari cekcok antara aku dengan Maman, Rahim meminta Maman agar pergi duluan meninggalkan warung teh tempat biasa kami mangkal. Maman pun menuruti permintaan Rahim. “Nanti aku yang bayar minuman dan makan kamu,” ucap Rahim.
    Pemilik warung, Bu Aina yang tak sempat tahu percekcokan kami, menjadi heran. Karena saat aku dan Maman cekcok ia sedang ke belakang. “Lho kenapa si Maman pulang duluan, biasanya kan bareng ?” Tanya Bu Aina dengan muka bingung.
    “Dia lagi ada urusan mendadak, Bu,” sahut Rahim.

    Siang itu menjelang shalat dhuhur, Aku, Rahim dan Maman mangkal di warung Bu Aina yang berada di tepi jalan raya. Kami sudah biasa mangkal disana. Selain pemandangannya yang ramai oleh lalu lalang kendaraan bermotor, warung itu juga bersih, dan Bu Aina, janda satu anak itu ramah, selain juga masih terlihat cantik.
    Tak jarang kami menggoda Bu Aina yang anak perempuannya masih duduk di kelas 3 SD. “Saya mau aja jadi ayah tirinya Jamilah,” godaku sambil bergurau suatu kali ke Bu Aina.
    Wajah Bu Aina tampak merona merah seperti udang rebus mendengar gurauanku.
    “Ah si Hakim ini bisa aja,” balas Bu Aina sambil berusaha membuang dan menyembunyikan wajahnya yang merona.

    Perihal percekcokanku dengan Maman, bermula ketika kami cerita melantur tentang keturunan Rasul Muhammad.
    Maman yang rupanya sangat yakin dan mengagungkan mereka yang mengaku keturunan Rasul Muhammad, tak terima dengan argumenku yang menolak keberadaan Habib atau Habaib sebagai keturunan Rasul.
    “Kamu tak menghormati para Ahlul Bait,” kecam Maman.
    “Ahlul Bait palsu, yang cuma ngaku-ngaku itu,” balasku.
    Sementara itu Rahim asyik main game di HP-nya. Ia rupanya tak tertarik dengan topik pembicaraanku dan Maman.
    “Darimana kamu bisa mengatakan mereka itu palsu dan ngaku-ngaku ?” Serang Maman.
    “Aku mau tanya kamu, Rasul itu ada punya anak laki-laki, nggak ?” Tanyaku balik tak mau kalah.
    “Nggak tahu, yang aku tahu Beliau memiliki Fatimah yang diperistri Ali Ibn Abu Thalib. Karena Beliau tak memiliki keturunan dari anak laki-laki, maka Fatimah lah dianggap menurunkan pewaris Rasul,” kata Maman dengan suara agak melemah dan nada kurang yakin.
    “Argumen ngaco ! Kalau nggak ngerti sejarah nggak usah sok tahu,” semburku sinis.

    Aku pun menceritakan sedikit hal yang kuketahui mengenai anak-anak Rasul Muhammad, yang mana Beliau sempat memiliki seorang anak laki-laki yang diberi nama Ibrahim. Namun putra Rasul ini meninggal di masa anak-anak. Yang hidup hingga dewasa dan menikah adalah putri-putri Beliau, yang paling terkenal yaitu Fatimah Azzahra yang dinikahi oleh sahabat sekaligus sepupu sekali Rasul, Ali Ibn Thalib. Sedangkan 2 orang putri Rasul lainnya dinikahi oleh sahabat Utsman Ibn Affan.
    “Kalaupun ada yang hidup dan kemudian beranak pinak dari hasil pernikahan antara Fatimah dan Ali, itu keturunan Ali, bukan keturunan Rasul,” uraiku merasa diatas angin.
    Maman tetap tak mau tahu terhadap argumen yang ku kemukakan.
    “Bukan, bukan begitu. Meski Fatimah seorang perempuan, tapi dia lah yang sangat disayang dan dikasihi Rasul daripada anak-anak Beliau yang lain, sehingga Fatimah dianggap sebagai anak lelaki Rasul,” ungkap Maman tak mau kalah.
    “Siapa yang menganggap Fatimah itu sebagai pengganti anak lelaki Rasul ? Kamu ? Para pengikut Syi’ah ?” Tangkisku geregetan.

    Semenjak percekcokanku dengan Maman di warung Bu Aina itu, aku berusaha menghindari Maman. Aku muak bila ingat kata-katanya yang mengkafirkan aku. Bila kuingat itu rasanya mau kubunuh saja si Maman itu, kutebas lehernya, lalu kupancang kepalanya di perempatan jalan saat tengah malam. “Dasar Syi’ah !” Gerutuku dalam hati yang kutujukan ke Maman.

    Aku tak habis pikir dan heran terhadap Maman yang bisa-bisanya terpengaruh oleh pandangan yang sekarang dianutnya. Padahal seingatku Maman yang dulu kukenal sama seperti aku yang tak mudah terpengaruh oleh omongan siapapun tanpa dasar dan argumen yang jelas. “Sudahlah, manusia itu setiap saat bisa saja berubah, hari ini Maman, siapa tahu besok malah aku yang berubah,” hiburku dalam hati.

    Perlakuan seperti yang kuterima dari Maman adalah yang kesekian kalinya. Sebelumnya sempat pula aku ditegur oleh seseorang yang mengaku sebagai keturunan Ahlul Bait, karena aku dianggap tak hormat, tak mencium tangannya saat kami ketemu di sebuah tausiyah yang digelar oleh pengelola mesjid dekat rumahku. Ketika itu si keturunan “Ahlul Bait” bertindak sebagai penceramah. Dalam ceramahnya ia mengatakan barangsiapa yang tak menghormati apalagi sampai menyakiti para keturunan Ahlul Bait, maka sama halnya dengan tak menghormati dan menyakiti Rasul.
    Sebenarnya aku muak mendengar isi ceramahnya itu, namun karena ingin mengetahui seluruh isi ceramahnya, kutahan juga agar tak beranjak hingga acara usai.
    Saat acara usai itulah para hadirin berhamburan menyerbu si penceramah yang berbusana gamis dengan sorban besar di kepalanya. Mereka ada yang memeluk dan cipika cipiki, tak sedikit yang mencium tangan si penceramah bolak balik. Akan halnya aku, aku cuma bersalaman biasa. Aku pikir tangan kotor ibu bapakku lebih pantas terlebih dulu kucium daripada tangan siapapun.

    Bila ingat si penceramah yang bertampang Timur Tengah itu, aku jadi teringat seorang kenalanku. Aku biasa menyapa dengan panggilan Ami. Perihal panggilan Ami ini aku cuma ikut-ikutan orang lain yang kudengar memanggil dengan sapaan itu.
    Si Ami yang juga bertampang Timur Tengah ini sering ketemu aku nongkrong di sebuah warung kopi di pasar induk.
    Si Ami ini pun tak beda dengan si penceramah yang pernah aku temui di mesjid dekat rumahku tempo hari. Bedanya si Ami ini berceramah sambil minum minuman beralkohol. Si Ami sangat lancar bicaranya jika sudah kerasukan alkohol. Pembicaraannya apa lagi kalau bukan mengenai pengakuannya yang memiliki derajat lebih tinggi daripada mereka yang bukan keturunan Rasul. Bila si Ami sudah bicara begitu, aku buru-buru mohon pamit ke tempat lain. Aku pikir orang ini ngakunya derajat tinggi, tapi apa yang diomongkan dan dikerjakannya justru menurunkan derajatnya ke tingkat paling bawah.

    (Cerita ini hanyalah rekaan saja, fiktif. Kesamaan karakter, tempat dan nama hanyalah kebetulan belaka)


    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Tonggakku Kehidupanku

    Oleh : Imi Suryaputera


    Dari kejauhan puncak Gunung Jambangan yang tinggi bergeming, tampak diselimuti kabut subuh di musim kemarau. Udara diluar rumah masih terasa dingin terasa ngilu menusuk tulang. Embun tampak menempel di kerimbunan daun keladi disamping rumah yang terbuat dari kayu jenis Ulin (kayu besi) beratap sirap (terbuat dari kayu Ulin). Beberapa ekor ayam telah nampak turun dari sebatang pohon sawo yang tumbuh di halaman, mengais-ngais mencari makan.

    Nu’ding baru saja selesai mempersiapkan peralatan kerjanya yang terdiri dari mesin pemotong kayu (chainsaw, sinso), sipat (benang untuk meluruskan ukuran), busi cadangan, oli, bensin, dan sepeda pancalnya.
    Perlahan ia kemudian melangkah ke dapur. Tampak isterinya Halmiah sedang menyiapkan sarapan terdiri dari ubi rebus dan ikan kering tengiri. Dari kejauhan masih terdengar suara orang sedang membaca shalawat tanda shalat subuh telah selesai.

    Sejak tak lagi pergi melaut, Nu’ding bekerja pada H. Sahide, orang kaya di kampungnya. Desa tempat Nu’ding tinggal bersama isteri dan seorang anaknya, berada dekat dengan tepi laut, dan juga tak seberapa jauh dari perbukitan. Alam desa dimana Nu’ding dilahirkan dan dibesarkan, cukup indah dengan pemandangan laut serta perbukitan dan gunung yang ditumbuhi pepohonan besar. Kehidupan warga desa selain pergi melaut untuk mencari nafkah sebagai nelayan, ada pula yang hidup menjadi petani. Nu’ding sebenarnya berasal dari keluarga nelayan. Kakek, ayah, dan saudaranya hidup sebagai nelayan. Namun Nu’ding memilih jalan hidupnya sendiri, berhenti jadi nelayan, menebang kayu.
    Keahlian Nu’ding menebang kayu dengan menggunakan chainsaw (sinso) ia peroleh ketika ia menjadi pembantu dari Usman, seorang penegang kayu dari Negara.

    Setelah dirasakan tak ada lagi peralatan kerja serta bekal makanan yang ketinggalan, Nu’ding pamit ke isterinya yang masih sibuk menyiapkan sarapan untuk ia dan anaknya. Tak ada ciuman di kening ataupun cium pipi dari Nu’ding kepada isterinya tanda pamit pergi bekerja. Hanya sebersit harapan di benak Nu’ding semoga kepergiannya selalu mendapatkan rejeki bagi keluarga kecilnya.

    Nu’ding mengayuh sepeda pancalnya ke arah barat. Kemarin ia mendapat kabar dari seorang petani tetangganya, di sekitar kebunnya masih banyak terdapat tonggak-tonggak kayu ulin. Tonggak ulin itu dinamakan tunggul, bekas sisa tebangan sebelumnya. Karena ukurannya yang masih panjang sehingga dapat dibikin balok-balok pendek, atau diolah menjadi sirap (atap dari kayu).
    Sepanjang perjalanan sambil mengayuh sepedanya, dari mulut Nu’ding keluar siulan yang mengiramakan sebuah lagu dangdut yang sedang hit. Terkadang siulan itu berganti menjadi syair lagu yang ia nyanyikan sekenanya.

    Lumayan jauh menuju kebun tetangganya itu, hampir 2 pal (kilometer). Dengan bersepeda pancal, menempuh perbukitan, Nu’ding akan sampai di kebun tersebut sekitar hampir 1 jam. Namun dengan keceriaannya sambil bersiul dan bernyanyi sepanjang perjalanan, tak terasa Nu’ding pun tiba tujuannya.

    Memang benar di sekitar kebun tetangganya itu masih terdapat beberapa tunggul yang lumayan besar dan tinggi hampir 1 meter. Nu’ding menghitung ada 6 tunggul. Nu’ding pun menyiapkan peralatan tebangnya.
    Matahari pagi mulai memancarkan sinarnya yang kemilau bak emas yang menembus awan. Pagi yang cerah itu dipecahkan oleh raungan bunyi sinso yang sayup-sayup terbawa angin menembus ranting-ranting semak mengalahkan kicau burung-burung yang sedang bertengger damai di dahan pepohonan.
    Sekitar setengah jam kemudian satu tunggul telah terpotong oleh Nu’ding. Ia beristirahat sejenak untuk minum, merokok, dan menyantap ubi rebus bekal yang ia bawa dari rumah tadi. Setelah menghabiskan sebatang rokok, Nu’ding pun kembali melanjutkan pekerjaannya memotong tunggul lainnya.

    Kaos yang dikenakan oleh Nu’ding telah basah oleh keringatnya. Matahari telah bergeser ke arah barat, pekerjaan Nu’ding memotong tunggul telah selesai. Kini ia mulai memotong-motong tunggul itu menjadi berbagai ukuran sesuai yang dikehendaki oleh pembeli.
    Semburat sinar matahari tampak mulai meredup, perlahan tenggelam dibalik rimbunnya daun pepohonan.
    Hingga hari menjelang maghrib, pekerjaan Nu’ding mengolah tunggul belum selesai. Ia pun merapikan pekerjaannya, memisahkan antara tunggul yang belum diolah dari yang sudah berbentuk jadi. Selanjutnja ia menutupi hasil pekerjaannya dengan daun pepohonan agar tak kentara dilihat orang.
    Setelah menaikkan semua peralatannya ke sepeda pancal, Nu’ding pun mengayuh menuju pulang.

    Hampir seminggu Nu’ding bolak-balik ke tempat pekerjaannya. Kini semua tunggul-tunggul ulin itu telah berubah menjadi bahan jadi berbagai ukuran.
    Hari ini ia Nu’ding akan pergi menemui H. Sahide. Ia akan minta juragannya itu mempersiapkan mobil angkutan untuk membawa hasil pekerjaannya.
    H. Sahide sumringah mendengar laporan hasil pekerjaan Nu’ding. Ia pun memanggil sopir angkutannya agar mempersiapkan diri. H. Sahide tampak puas mengetahui Nu’ding bekerja dengan baik. Itu berarti ia tak malu bila mitra dagangnya dari Bati-Bati datang membeli kayu. “Aku sudah suruh si Dullah mengambil dan mengangkut kayu-kayu itu,” ujar H. Sahide dengan senyum dan hidungnya tambah mekar.

    Kayu hasil olahan sinso oleh Nu’ding telah tertumpuk di gudang H. Sahide. Setelah diukur hasilnya lebih dari 2 meter kubik. Ini berarti jika dijual, Nuding akan memperoleh hasil sebesar sepertiga bagian setelah dibagi untuk pemilik modal dan sinso yang dipakai. Nu’ding membayangkan dirinya menerima uang hasilnya bekerja. Membayangkan akan diapakan uangnya itu nanti.

    Nu’ding menerima bagian hasilnya bekerja 2 hari kemudian. Lumayan dalam minggu ini ia bisa membeli beras beberapa gantang, dan keperluan lainnya, serta membayar biaya sekolah Ancah, anaknya yang sedang duduk di kelas 4 SD.
    Nu’ding pun memutuskan untuk istirahat selama 2 hari. Ia telah mendapat ijin dari H. Sahide. Waktu istirahat ini biasanya dipergunakan Nu’ding untuk mencari lokasi baru. Ia akan mencari informasi dari beberapa warga yang biasa sering keluar masuk hutan sebagai peladang berpindah. Atau Nu’ding nongkrong di warung kopi milik Mang Husin yang terletak di tengah desa. Disini tiap hari banyak warga yang kumpul. Mereka yang tak pergi melaut atau ke ladang, suka nonkrong di tempat Mang Husin. Ada yang main gaple, main catur, ada pula yang cuma duduk makan minum sambil ngelantur. Namun tak jarang disini juga ada warga yang membawa informasi berguna. Seperti hari ini ketika banyak pengunjung di warung kopi Mang Husin, seseorang mampir. Tampaknya ia habis melakukan perjalanan dari arah kota mengendarai sepeda motornya.
    “Dari mana, Din” tanya Mang Husin kepada tamu yang tampaknya telah ia kenal.
    “Dari kota, Mang ?” balas tamunya sembari mengambil tempat duduk.
    “Ada kabar apa, maksudnya informasi apa ?” ralat Mang Husin.
    “Kabar baik aja. Tapi tadi saya ada ketemu beberapa Polisi Hutan dan Polisi Polres sedang menuju ke arah sini. Informasinya mereka akan melakukan razia kayu,” ungkap Udin, tamu yang barusan datang.
    Nu’ding yang mendengar percakapan antara Mang Husin dengan Udin, menjadi tertarik.
    “Kamu tadi ketemu mereka dimana,” tanya Nu’ding kepada Udin yang tinggal di desa tetangga.
    “Kira-kira 4 pal dari luar kota,” sahut Udin.
    Dalam pikiran Nu’ding para Polisi itu paling-paling setengah atau 1 jam lagi akan telah berada di desanya.

    Dari beberapa warga desa tetangga yang kebetulan melintas dan mampir di desa Nu’ding, diperoleh kabar para Polisi yang sedang razia kayu itu telah mengamankan kayu-kayu milik warga berikut pemiliknya. Mereka bahkan menyita kayu-kayu yang akan dipakai warga untuk membangun rumah.
    “Sungguh keterlaluan para Aparat itu. Masa kayu untuk mengganti tiang dan dinding rumah pun disita,” cetus seorang warga.
    “Untung pemiliknya tak ikut diangkut,” timpal seorang warga lainnya.
    Nu’ding pun mendengar dari seorang temannya yang tinggal di kota, beberapa galangan tempat berjualan kayu berikut pemiliknya juga diamankan pihak Kepolisian.
    Mengetahui kenyataan seperti ini, pikiran Nu’ding jadi ikut pusing. Ini artinya ia bakal tak bisa bekerja untuk waktu yang tak dapat ditentukan.
    “Yah……beginilah jadi orang kecil. Mencari nafkah untuk urusan perut saja susah,” bathin Nu’ding mengeluh.
    Memang semenjak Kapolres Kota dijabat oleh AKBP Agus Prihadi, aparat kepolisian gencar melakukan razia kayu yang mereka katakan ilegal.
    Padahal seingat Nu’ding, Kapolres sebelumnya masih mau mengerti terhadap pekerjaan warga. Menurut yang ia dengar dan ketahui, juragannya H. Sahide ia lihat sering kedatangan tamu dari kepolisian ke rumahnya. Oknum Polisi itu kabarnya datang mengambil jatah karena H. Sahide bisnis kayu. Nu’ding pun pernah melihat beberapa orang berpakaian biasa menemui H. Sahide. Mereka membawa kamera dan peralatan yang Nu’ding tak tahu kegunaannya. Menurut beberapa tetangganya, mereka itu adalah Wartawan. Entah untuk apa para Wartawan itu menemui H. Sahide, Nu’ding tak mengetahuinya. Yang jelas ia tak pernah dengar atau membaca koran yang memberitakan H. Sahide jualan kayu.

    Puncak Gunung Jambangan masih tetap menjulang menantang langit. Pucuk-pucuk pohon pinus bergoyang bak menari ditiup angin sore. Senja temaram seburam lampu listrik yang berasal dari mesin diesel. Pikiran Nu’ding galau. Ia menatap hampa Gunung Jambangan dari kejauhan. Nu’ding belum mendapat jawaban apakah hari esok masih menyisakan harapan bagi diri dan keluarganya untuk meraih masa depan.
    “Allahu Akbar, Allahu Akbar” panggilan Illahi menyeru umatNya agar segera meninggalkan sejenak urusan dunia. Nu’ding pun beranjak dari tempat duduknya, melangkah menuju ke arah suara panggilan Illahi itu. Dalam doanya sehabis shalat, Nu’ding meminta selalu diberikan kesehatan, kekuatan, keselamatan dan rejeki untuk bisa menghidupi keluarganya, serta ingin memberikan masa depan kepada anaknya.

    (kisah ini hanya fiktif, hasil rekaan. Jika terdapat kesamaan nama Tokoh Pelaku, tempat, dan karakter, itu cuma kebetulan)


    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Asa Dari Balik Bilik Penuh Noda

    Oleh : Imi Suryaputera


    Dari jendela biliknya Inah memandangi gunung hijau menjulang, saksi bisu keberadaan Inah di tempat ia kini berada.
    Inah mengalihkan pandangannya ke arah lain, hamparan pohon-pohon karet diselingi perdu dan semak belukar.
    Ingin rasanya Inah meratap, menangis sesenggukan, atau bahkan berteriak sekerasnya mengadukan nasib yang dialaminya kini ke gunung itu, ke pepohonan itu, ke semak belukar……….

    Tak pernah terbersit dalam pikiran Inah apalagi menyangka hidupnya bakal berada di sebuah barak tempat pelacuran yang berjarak belasan kilometer dari pusat kota.
    Kumpulan puluhan barak itu berderet membentuk satu pemukiman setara dengan desa kecil. Disini suasananya selalu ramai ; hingar bingar oleh dentuman suara musik dari peralatan audio visual, aroma parfum murahan bercampur minuman keras, dan tawa berderai. Disini seolah tak kenal kesedihan.

    Segala hiruk pikuk dan keceriaan di permukiman dimana kini Inah berada, tak mampu menepis segala kesedihan, kepedihan dan kegundahan hatinya.
    Tak habis-habisnya Inah meratapi nasibnya, atau mungkin juga ini semacam kesialan dalam kehidupannya.
    Terbayangkan pula caci maki, sumpah serapah, berbagai hujatan dari siapa saja yang membenci pekerjaannya, menjual tubuh, kenikmatan sesaat, yang sudah tak terhitung telah banyak menuai akibat buruk bagi banyak orang lain.

    Hari ini Inah sudah melayani 3 orang tamu di tempat tidurnya yang lepek dilapisi seprei kumal dan kusam. Ia pun sebelumnya sempat menemani beberapa tamunya berkaraoke sambil menenggak bir. Hingga menjelang tengah malam, Inah baru mendapat waktu luang untuk sekedar melepas kelelahan. Tubuhnya penat, jiwanya terlebih sangat menderita.

    Inah tergolek di pembaringan, diatas kasur busa tipis setipis imannya kini. Ia pandangi langit-langit bilik yang dilapisi terpal usang berwarna biru, sebiru perasaannya yang mengharu biru oleh penderitaan dan penyesalan.
    Meski tubuhnya penat, kepala agak berat sehabis ikut menenggak bir, mata Inah enggan terpejam. Benaknya jauh menerawang melintasi gunung, pepohonan, awan, melambung tinggi tanpa batas. Pikirannya tak tentu arah………..

    Hampir 4 bulan lalu Inah masih merupakan ibu rumah tangga dengan seorang anak berumur sekitar 6 tahun yang hidup di pelosok satu desa di pulau jawa. Perpisahan dengan suaminya, Slamet yang kepincut janda kembang, membuat kehidupannya berubah drastis. Inah yang berasal dari keluarga miskin, harus memelihara dan membiayai anak semata wayangnya, juga ikut membantu 2 orang adiknya yang masih sekolah, pun membantu kehidupan orantuanya yang cuma buruh tani.
    Slamet, suami Inah sudah tak diketahui entah kemana bersama Narti seorang janda kembang dari desa tetangga, tak peduli lagi dengan anak dan keluarganya.

    Tanggungjawab yang cukup berat untuk menghidupi anak dan ikut membantu keluarganya, membuat Inah menerima tawaran tetangganya, Muji yang menawarinya kerja sebagai penjaga warung di Kalimantan.
    Inah tak pernah curiga apalagi menyangka bakal ditipu oleh Muji yang di desanya dikenal sering bolak balik ke perantauan. Bujukan penghasilan bulanan yang lumayan besar, membuat Inah setuju mengikuti Muji. Kepergian Inah dari desanya pun diantar oleh doa dan deraian air mata keluarganya.

    Di tempat tujuan, mula-mula Muji menempatkan Inah di satu warung yang berada di lokasi pelacuran itu. Sementara itu Muji pergi menghilang entah kemana. Namun beberapa hari kemudian datang seseorang menjemput Inah sambil memperlihatkan bukti-bukti pengambilan uang oleh Muji dengan jaminan atas nama Inah. Meski bersikeras, akhirnya Inah dengan terpaksa harus menuruti dan mengikuti kemauan si penjemputnya.

    Jika mengingat itu Inah tak henti-hentinya kembali menyesali kebodohannya yang telah ditipu Muji. Ia tak pernah menduga dirinya telah dijual oleh tetangganya itu. Malang tak dapat ditolak, untung pun tak bisa diraih, Inah pun pasrah dengan keadaannya kini.
    Setelah beberapa hari dengan pekerjaan barunya itu, Inah mulai agak melupakan kebodohannya, dan mulai terbiasa menerima keadaan pekerjaannya. Ini karena mengetahui keadaan yang sama juga dialami oleh beberapa temannya di barak itu.

    Meski di tempat itu tampak tak ada kesedihan, namun jauh di lubuk hati Inah yang paling dalam, ia menangis sendu, ingat anak, keluarga, dan dosa atas perbuatannya. Ia bertekad kembali ke jalan yang benar bila sudah dapat menebus dirinya, dan keluar dari lembah hitam itu.

    Hentakan musik berirama keras masih terdengar kencang meski malam sudah sangat larut. Inah sedang tergolek di dipan setelah melayani tamu ke-5. Matanya menatap atap daun nipah yang membayang muka anaknya, adik dan orangtuanya. 
    “Maafkan aku anakku, maafkan kakakmu, maafkan anakmu, dan ampuni dosa hamba-Mu ini,” bisik hati Inah.
    Suara binatang malam lebih terdengar merdu di telinga inah ketimbang suara musik yang berganti-ganti irama.
    Ia coba membayangkan raut wajah suaminya yang sangat tega meninggalkan ia dan anak semata wayang mereka. Andaipun Inah dapat bertemu kembali dengan suaminya, ia tak tahu harus berkata apa, mengumpat, menyumpah serapahi, mencakar mukanya, bahkan mungkin menikamnya bertubi-tubi hingga tubuh suaminya terkapar dan mati, Inah tak punya keberanian, ia hanyalah seorang perempuan lemah yang cuma bisa pasrah dengan keadaan.

    “Inah, buka pintunya !” Suara Bu Marni yang serak sambil mengetuk keras pintu bilik Inah.
    “Iya bu, sebentar, saya lagi mandi,” sahut Inah sambil mengguyurkan air ke tubuhnya, terasa segar.
    “Aku tunggu di ruang depan, ya Nah,” ujar Bu Marni terdengar langkahnya yang berat menjauhi bilik Inah.
    “Ada apa Bu Marni sepagi ini sudah memanggil ?” Inah membathin seraya menggosokkan sabun ke tubuhnya.

    Selesai mandi, berpakaian dan bersolek seadanya, Inah menuju ruang depan dimana para penghuni barak sering berkumpul. Disana ia dapati sudah ada Bu Marni bersama beberapa rekannya, ada Tarti, Lia, Indah, dan Atik. Inah pun mengambil tempat duduk bergabung.
    “Begini lho semua, hari ini kalian mesti bayar beberapa kewajiban sebagai pekerja di tempat ini,” Bu Marni membuka percakapan dengan suara seraknya yang khas.
    “Bayar uang kost 300 ribu, untuk air 100 ribu, uang keamanan 150 ribu, silakan dijumlahkan sendiri,” urai Bu Marni.
    Mereka pun masing-masing menjumlahkan dan kemudian mengeluarkan uang, memberikannya ke Bu Marni, selesai.

    Sore itu Inah sehabis mandi dan berdandan, duduk di teras bergabung bersama yang lain, menanti kalau-kalau ada tamu.
    Beberapa saat kemudian 2 sepeda motor yang dinaiki 4 orang berhenti dan parkir di muka barak dimana Inah berada. 4 pemuda berumur sekitar belasan tahun menuju teras dimana Inah dan temannya duduk.
    “Halooo nona-nona manis, lagi pada ngapain ini ?” Sapa salah seorang dari mereka dengan agak sempoyongan.
    Sementara Inah dan temannya cuma memperhatikan para pemuda yang tampaknya habis pesta Miras.
    “Kalian ini nyasar ya jadi sampai kesini ?” Sindir Tarti, salah seorang teman inah.
    “Nggak lah ya, kita sengaja kesini menyasarkan diri, hehehe…….,” sahut salah seorang dari mereka yang kemudian duduk disamping Inah.
    “Kamu itu nggak dicari-cari orangtua jalan-jalan kesini ?” Tanya Lia bermaksud menyindir pula.
    “Kenapa dicari-cari ortu, kita kan sudah dewasa, lihat nih sudah punya kumis,” balas seorang dari mereka yang berparas agak dewasa sambil menunjuk kumisnya yang tipis.
    “Sudahlah jangan ngomong terus, kalian mau apa kesini, mau karaokean, atau apa ?” Tanya Atik yang angkat bicara.
    “Oh ya, kita kesini jelas mau hiburan, mbak. Kita mau buka musik sambil minum-minum,” kata yang berkumis mewakili teman-temannya.

    Beberapa saat kemudian para pemuda itu sudah berada di ruang musik ditemani Inah dan teman-temannya. Alunan musik berirama dangdut pun terdengar menggema dari ruang musik. Terdengar pula alunan lagu dari salah seorang dari mereka mengimbangi musik karaoke.
    Ruang musik pun dipenuhi asap rokok dan aroma bir bercampur bau parfum dan keringat.
    Cukup lama juga mereka berada di ruang musik itu. Sudah beberapa lagu silih berganti mereka lantunkan.
    “Mbak, kita masuk yuk,” ajak pemuda yang ditemani Inah sambil meraih pinggangnya.
    Inah tak menyahut, namun berdiri dan beranjak dari tempat duduknya diiringi pemuda itu dari belakang.

    Sesampai di bilik Inah, pemuda itu langsung menghempaskan dirinya ke kasur.
    “Kok nggak dibuka dulu pakaiaannya,” ujar Inah.
    “Nanti dululah, mbak. Aku ingin baring-baring sambil kita ngobrol,” sahut pemuda yang menurut taksiran Inah masih berumur sekitar 18 tahunan.
    “Okelah kalau begitu,” balas Inah sambil membuka pakaiannya, sehingga tampaklah tubuh polos Inah yang cuma mengenakan bra dan handuk yang menutupi tubuh bagian bawah.
    Inah duduk di tepi dipan membelakangi pemuda yang sedang berbaring itu.
    Mereka berbincang apa saja seputar tempat dimana Inah kini berada. Pemuda itu bercerita tentang dirinya yang baru lulus sekolah namun tak melanjutkannya lagi. Menurut pemuda itu orangtuanya menyuruhnya ikut bekerja di usaha tambang batubara ayahnya yang sedang dirintis. Inah pun dengan sabar menjadi pendengar yang baik sebelum akhirnya mereka mereguk kenikmatan sesaat.

    Pemuda yang menjadi tamu Inah itu memberikan uang lumayan banyak, 300 ribu, lebih banyak dari tamu yang biasanya ia layani untuk short time, 100 ribu. Uang itu diterima Inah tanpa perasaan apapun. Entahlah ini rejeki, atau alat dari setan untuk melenakan Inah sehingga tetap pada pekerjaan maksiatnya.
    “Terima kasih, mbak. Lain kali kita ketemu lagi,” kata pemuda itu seraya beranjak keluar dari bilik Inah.
    Sepeninggal pemuda itu, sambil merapikan tempat tidurnya Inah berpikir, di tempat ini tak lagi ada pilihan selain melayani tiap tamu yang datang. Apakah tamu itu setua ayahnya, seumur kakeknya, atau sebaya kakak maupun adiknya, semua mesti dilayani sebagai konsekuensi dari pekerjaan.

    “Ayo semua pada kumpul nanti di ruang depan,” kata Bu Marni didampingi suaminya pak Parjo.
    “Ada apa ya, bu ?” Tanya Tarti.
    “Jam 3 siang ini ada pemeriksaan dari Satpol PP,” terang bu Marni yang diangguki oleh suaminya.
    Pak Parjo pun menjelaskan kepada Inah dan teman-temannya. Satpol PP itu bermaksud melakukan pendataan terhadap seluruh para pekerja di barak-barak pemukiman ini.
    “Mereka mendata terkait besarnya uang setoran keamanan dari semua pengelola barak disini. Karena selain menyetor ke oknum Kepolisian yang sering berpatroli kesini, juga ke oknum Satpol PP,” jelas pak Parjo panjang lebar.

    Namanya juga usaha ilegal yang tak mendapatkan ijin dari pihak berwenang, usaha pelacuran di barak-barak itu setiap bulannya setor sana sini ke para oknum, yang tidak saja meminta duit, tak jarang mereka minta dihibur secara gratisan.
    Disamping itu ada pula petugas paramedis yang tiap setengah bulan datang memeriksa kesehatan. Para pekerja seks komersial itu pun mesti merogoh kocek sendiri membayar layanan kesehatan.

    Hari menjelang senja, Inah yang sudah selesai mandi dan berpakaian belum ingin keluar dari biliknya. Dari televisi yang berada di ruang depan, terdengar suara kumandang azan magrib.
    Inah yang duduk termangu didalam biliknya jadi teringat kampung halamannya. Teringat masa anak-anaknya, masa-masa kemudian semasih bersama suaminya. 
    “Tuhanku, kuatkan dan tabahkan diriku, berikan aku kesempatan serta jalan untuk menebus segala dosa dan memperbaiki diri. Di hadapan-Mu aku hanyalah makhluk tiada daya upaya,” harap Inah dalam bathinnya.

    (Catatan kisah ini cuma rekaan. Kesamaan karakter, nama tokoh & tempat hanyalah kebetulan saja)

    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

    (Maybe) The Right Man On (Maybe) The Right Place

    Oleh : Imi Suryaputera


    “The right man on the right place”, orang yang benar ditempatkan pada tempat yang benar.
    Kalimat ini yang selalu kuingat hingga kini, kudapat ketika aku duduk di SLTA puluhan tahun silam, yang diucapkan oleh guru ekonomi kami. Namun kalimat ini belum tentu sepenuhnya benar, karena tak sedikit yang bertolak belakang disebabkan “learning by doing”.

    “Lebih baik memelihara seekor buaya ganas daripada memelihara dia,” cetus Malik kepadaku.
    “Kamu pikir akan mampu membuat dia menjadi baik ?” sambung Malik dengan dahi mengernyit.
    “Dia kan manusia, binatang saja bisa dididik jadi baik bila dilakukan dengan pelan-pelan,” sahutku berdalih.

    Itulah percakapanku belasan tahun lalu dengan Malik, temanku yang kini sudah menjadi seorang pengusaha sukses.
    Waktu itu seorang teman kami sedang menunggu di teras kantor untuk bisa diterima berkerja di penggergajian kayu yang kukelola bersama Malik.

    Munir adalah teman lamaku dan Malik saat kami masih bujangan, suka begadang dan main gitar di tepi jalan di kota kami.
    Munir yang temperamen, suka bertengkar dan berkelahi dengan siapapun yang ia anggap menghalangi keinginannya.
    “Tolong deh beri aku pekerjaan disini. Aku butuh kerja untuk menghidupi keluargaku. Kerjaan apa saja disini aku mau, dan nurut apa aturan kalian,” rengek Munir memelas.
    “Akan aku usahakan. Masalahnya yang jadi bos disini Malik, aku cuma dipercaya sebagai pengelola,” ungkapku ke Munir lirih.

    Atas upaya kerasku membujuk, akhirnya Malik bersedia menerima Munir berkerja sebagai pengawas para penebang kayu di hutan.
    Dengan diterimanya Munir berkerja bergabung dengan kami, ini menjadi beban moralku, menjamin Munir agar benar-benar berubah baik.

    Malik, Aku dan Munir pun kumpul menjadi satu tim kerja di satu desa kecil di pelosok pulau Kalimantan. Hanya saja Malik adalah pemilik modal dan usaha, Aku sebagai pengelola, dan Munir sebagai pekerja yang digaji sesuai pekerjaannya.
    Kami sempat kumpul bareng selama lebih dari 2 tahun, sebelum usaha di bidang perkayuan itu terhenti karena kesulitan bahan baku. Kami pun berpisah, Malik pulang ke kota tempat tinggalnya di satu ibukota propinsi. Aku pulang kampung mencari pekerjaan dimana sedang marak aktivitas pertambangan batubara, sedangkan Munir tetap tinggal di desa itu karena tak punya pilihan selain tetap berada disana ikut kerja di kebun sawit.

    Beberapa bulan lalu, kurang dari setahun, kembali Munir menemuiku setelah kami lama berpisah. Ia datang minta tolong agar dicarikan kerja.
    “Aku tak kuat berkerja di kebun, gajinya tak mencukupi,” cerita Munir datar.
    “Kamu sudah sempat menemui Malik, ia sekarang sudah sukses jadi bos,” kataku ke Munir.
    “Sudah, katanya belum ada pekerjaan yang cocok buatku. Ia hanya memberi sejumlah uang,” jawab Munir datar.

    Sebetulnya aku ingin sekali memberikan pekerjaan ke Munir. Tapi aku belum yakin ia bisa cepat beradaptasi dengan pekerjaan yang sama sekali asing baginya, mengandalkan intelektualitas. Disamping itu pendidikan Munir yang tak menunjang bila ikut berkerja bersamaku.
    “Aku sebenarnya ingin mengajakmu berkerja, tapi aku tak yakin apakah pekerjaan ini bisa kamu kerjakan,” ujarku tanpa menyebut jenis pekerjaannya.
    Tampak wajah Munir kecewa mendengar jawabanku yang mungkin tak disangkanya.
    “Sabarlah dulu, aku akan mempertimbangkan sesuatunya apakah pekerjaan ini bisa dilakukan oleh orang sepertimu,” kataku agar ia penasaran.
    “Pekerjaan apa saja yang penting bukan pekerjaan seperti di kebun sawit,” ujar Munir mencoba ingin mengetahui pekerjaan apa.
    “Sabar aja, nanti bila sudah waktunya kau akan tahu jenis pekerjaan itu,” ujarku lagi sambil memberinya beberapa lembar ratusan ribu.
    “Okelah, kalau begitu aku permisi,” ujar Munir pamit dengan menyimpan rasa penasarannya.

    Penolakanku secara halus terhadap Munir bukan karena aku tak ingin menolongnya, tapi ingin agar ia berusaha untuk merubah dirinya tanpa pertolongan teman. Dalam bathin aku berharap Munir memahami maksudku, berusaha dengan jalannya sendiri untuk merubah hidupnya.

    Lebih dari sebulan sejak kedatangannya ke tempatku itu, Munir kembali datang.
    “Aku tak punya upaya dan pilihan lain selain minta bantuanmu. Kali ini aku benar-benar butuh bantuanmu,” ungkap Munir.
    “Berarti kamu pikir mampu melakukan pekerjaan sepertiku ?” tanyaku.
    “Mampu atau tidak belum bisa dibuktikan bila belum dicoba,” sahutnya mencoba meyakinkanku.
    “Baiklah, kamu datang lagi besok, aku akan persiapkan sesuatunya agar kamu dapat mulai berkerja,” balasku.

    Sepeninggal Munir, aku jadi berpikir apakah aku mampu memperkerjakan orang yang pendidikannya cuma setingkat SLTP dengan sifat temperamen pula. Aku berpikir keras mencari pola dan cara agar Munir bisa melakukan pekerjaan seperti yang kulakukan beberapa tahun terakhir ini.
    “Aku mesti mendidiknya dari dasar agar ia tak menjadi bebanku terus menerus. Ia mesti menguasai pekerjaannya nanti dengan baik,” kataku dalam hati.

    Aku memutuskan menerima Munir untuk mengisi kekosongan peliputan di satu kecamatan yang dikenal selama ini menjadi pusat kegiatan penambangan dan penebangan kayu ilegal. Pertimbanganku menempatkannya disana adalah, sifat Munir pemberani dan temperamen, serta berani mengutarakan pembicaraan. Sebagai Pemimpin Redaksi di satu media pemberitaan lokal yang cukup dikenal, dengan mudah aku bisa menerima siapa saja yang kukehendaki tanpa banyak persyaratan formal.

    Apa yang kukhawatirkan dari seorang Munir ternyata tak terbukti, bahkan sebaliknya menjadi sesuatu yang mengejutkan. Munir dalam beberapa bulan setelah berkerja padaku, melejit cepat, dikenal oleh banyak pejabat dan pengusaha di tempatnya bertugas. Dengan demikian berarti media kami pun ikut tambah terangkat ke permukaan.
    Seiring dengan makin dikenalnya sosok Munir, berdampak pula kepada kondisi ekonomi keluarganya yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

    “Halo, apakah saya sedang bicara dengan pak Rahmat, Pemred tabloid Independen ?” tanya suara seseorang yang menelponku.
    “Benar, bapak siapa, dapat nomor saya dari mana ?” balasku.
    “Saya dari PT. Lekas Maju, saya dapat nomor ini dari Munir, pak,” sahut si penelpon.
    “Ada yang bisa saya bantu, pak ?” tanyaku lagi.
    “Saya sudah ada pembicaraan sebelumnya dengan Munir, anak buah bapak. Perusahaan saya bermaksud memasang iklan, dan kerjasama publikasi atas berbagai kegiatan sosial dan promosi perusahaan,” ungkap si penelpon.
    “Baiklah, nanti kita ketemu langsung saja untuk membahas masalah itu,” ujarku.
    “Terimakasih pak, nanti kita saling kontak saja,” balas si penelpon yang tak sempat menyebut namanya itu seraya menutup pembicaraan.

    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Engkau Tetap Sahabatku

    Oleh : Imi Suryaputera


    Pagi ini Mahmud tetap menjemput Firman, temannya sesama broker hasil tambang.
    Mahmud sudah bertahun-tahun mengenal dan berteman dengan Firman, sejak ia pertama kali menginjakkan kakinya di daerah yang kaya batubara itu, satu kota kabupaten.

    Bersama Firman, Mahmud telah merasakan arti satu persahabatan yang sesungguhnya, seperti kepompong yang berubah indah jadi kupu-kupu.
    Padahal di mata sebagian orang, sosok Firman bukanlah orang baik; pemabuk, pemadat, suka hura-hura, dan main perempuan. Cap tidak baik sudah melekat pada sosok Firman. Namun bagi Mahmud, berbeda jauh dari anggapan orang lain, Firman adalah sahabat sejati.

    Usai sarapan pagi tadi isteri Mahmud, Rukayah berpesan, “jangan lagi berteman dengan Firman. Tanpa dia Abang bisa tetap bekerja.”
    Mahmud diam saja mendengar pesan isterinya itu.
    Sebenarnya hampir saja keluar ucapan membantah perkataan isterinya itu, tapi Mahmud urungkan karena akan memicu pertengkaran. “Biarlah orang lain menganggap Firman tidak baik, tapi aku lebih tahu dan mengerti siapa Firman sesungguhnya,” bathin Mahmud.

    “Bila Abang tetap saja berteman dengan Firman, lama-lama nanti bisa saja ketularan kelakuan dia. Bisa saja nanti Abang coba-coba ikut nyabu, mabuk, atau ingin punya isteri banyak seperti Firman itu,” lanjut isterinya dengan intonasi agak tinggi dan terdengar sewot karena Mahmud tetap diam.
    “Sungguh aku tak kan rela bila Abang sampai menjadi seperti Firman,” sembur isterinya lagi dengan nada emosi.
    “Sudahlah, nggak usah membicarakan orang lain, lebih baik kamu siapkan sarapan,” kata Mahmud yang mulai gerah mendengar ocehan isterinya.

    Seingat Mahmud, ia telah lebih 6 tahun berteman dengan Firman. Masih segar dalam ingatan Mahmud ketika pertama kali datang ke kota ini tanpa tujuan pasti, berbekal keinginan dan beberapa helai pakaian yang dibungkus tas lusuh, serta beberapa puluh ribu rupiah uang di saku celana.
    Firman lah orang pertama yang menyapanya di kota ini saat Mahmud memesan secangkir kopi di satu warung tepi jalan.

    “Dari mana mas, tampaknya dari bepergian jauh ?” sapa Firman kala itu yang duduk berhadapan dengan Mahmud di warung itu.
    “Dari kampung, mau cari-cari usaha disini,” jawab Mahmud senang karena ada orang yang memperhatikannya.
    Firman mengulurkan tangannya menyalami Mahmud sambil memperkenalkan diri. Mahmud pun berlaku sama, mereka pun saling berkenalan.

    Di warung itu, yang kini sudah tergusur oleh bangunan megah, Mahmud dan Firman pertama kali berkenalan dan seterusnya menjadi sahabat.
    Kala itu Firman tak cuma membayar makanan dan minuman untuk Mahmud, tapi juga mengajaknya ke rumah sewaannya, menawarkan Mahmud tempat tinggal sementara. Firman yang waktu itu juga masih hidup sendiri belum menikah, mengaku merasa senang mendapat teman dan membantu orang lain.
    “Tinggal aja disini, anggap rumah sendiri, nggak ada juga orang lain selain kita,” Firman menawarkan tempat tinggal kepada Mahmud.

    Rumah sewaan Firman, meski terbuat dari bahan kayu, cukup luas untuk ukuran bujangan seperti mereka berdua. Memiliki kamar tidur muat buat berdua dengan kasur busa tebal. Di ruang tamu yang dilapisi tikar plastik, tak ada kursi, tak ada televisi, hanya terdapat beberapa helai koran bekas. Di sudut ruangan dekat jendela tampak susunan botol bekas minuman keras bermerk.

    Di ruangan dapur, terdapat beberapa peralatan makan, tempat air minum berupa galon, satu kompor yang tampaknya jarang digunakan. 
    “Aku jarang masak, sering makan diluar, di warung aja,” suara Firman mengagetkan Mahmud yang sedang mengamati ruangan dapur.
    “Kalo mau masak di rumah, nanti kita beli beras dan lainnya,” sambung Firman.

    Dari Firman yang dianggap bukan orang baik oleh sebagian orang itu, Mahmud banyak belajar tentang berbagai hal. Firman yang doyan minum minuman keras, tak suka usil terhadap urusan orang lain. Bila dalam keadaan normal, Firman peduli terhadap siapapun.
    Mahmud jadi berpikir tentang sosok Firman, yang kontradiktif dengan kebanyakan para pecandu alkohol. Selama ia kumpul dengan Firman lebih dari dua tahun serumah, Mahmud tak pernah melihat Firman layaknya orang mabuk usai menenggak minuman beralkohol. Hanya saja Firman lebih sering bicara banyak hal kalau sedang kerasukan alkohol. 
    “Kalau belum pernah meminum minuman beralkohol, sebaiknya jangan coba-coba, nanti bisa keterusan,” wejang Firman ke Mahmud suatu ketika.
    Mahmud hanya manggut-manggut dengan wajah bengong.

    Firman menceritakan awal mula ia kecanduan alkohol. Karena putus bercinta, ia melampiaskan kekecewaannya dengan menenggak Miras. Dan keseringan menjadikannya kecanduan meski ia sudah melupakan sakit hatinya.
    “Sebenarnya kalau dibilang kecanduan juga tidak. Aku minum bila lagi kepingin aja,” ungkap Firman.

    Dari Firman pula, Mahmud belajar berkerja tanpa harus melamar pekerjaan kesana kemari. 
    “Mencari pekerjaan itu sulit, lebih gampang mencari duit,” cetus Firman kala itu.
    Mahmud agak bingung mencerna perkataan Firman itu.
    “Mencari pekerjaan membutuhkan banyak persyaratan, tapi kalau mencari duit itu dengan kemauan dan potensi yang ada dimiliki. Akan lebih baik menjadi bos bagi diri sendiri meski pendapatan kecil, daripada gaji besar tapi berstatus kuli yang tunduk dengan berbagai aturan,” jelas Firman ke Mahmud.

    Firman mengajarkan Mahmud bagaimana sikap menghadapi dan berbicara kepada orang lain agar memperoleh simpati dan kepercayaan. 
    “Bersikaplah sopan terhadap siapa saja bila kita ingin menarik simpati dan kepercayaannya. Nilai sebuah kepercayaan itu mahal melebihi materi yang bisa didapatkan setiap saat bila kita mau mencarinya, tapi kepercayaan akan sangat sulit dicari,” urai Firman.

    Itulah sosok Firman yang dikenal Mahmud selama ini, yang tak banyak diketahui isteri yang dinikahinya lebih setahun lalu.
    Kini mereka sudah masing-masing menikah dan memiliki keluarga. Hanya saja Mahmud memiliki satu isteri, sedangkan Firman menikahi dua orang.
    Pagi ini Mahmud menemui Firman di rumah isteri tuanya. Di perjalanan tadi Firman memberitahukan Mahmud melalui SMS bahwa ia di rumah isteri pertamanya.
    Hari ini Mahmud dan Firman berencana akan meninjau satu lokasi tambang yang menawarkan hasil produksinya untuk dicarikan pembeli.
    “Apapun kata isteriku dan orang lain tentang Firman, ia tetap sahabatku, dan tetap selalu sebagai sahabatku,” ikrar Mahmud dalam hati.

    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Jangan Memeras, Meremas Saja

    Oleh : Imi Suryaputera


    “Brak !!!”
    Meja terbuat dari kayu kuku (sejenis jati) itu bergetar oleh gebrakan tangan sang Kepala Desa.
    Hampir saja aku terlompat dari tempat dudukku.
    Kepala Desa yang kukonfirmasi sangat berang setelah menyimak pertanyaanku terkait pungutan jalan terhadap truk-truk bermuatan hasil tambang dan kebun yang lewat di depan kantor desa.

    Temanku, wartawan dari satu koran lokal yang menyertaiku, yang duduk bersebelahan denganku, wajahnya langsung pucat.

    Siang itu aku dan temanku, Riadi mendatangi kediaman Kepala Desa, Ardian yang sebelum jadi orang nomor satu di desanya, dikenal sebagai preman yang menguasai pasar dan terminal.

    “Memangnya ada apa kalian menanyakan masalah pungutan itu ?” suara Kades Ardian agak bergetar masih menahan kegeramannya terhadap kami.
    “Adalah menjadi tugas kami sebagai wartawan untuk menanyakan sesuatu hal yang tak berdasar dan menyangkut orang banyak,” jawabku datar.
    “Supaya kalian ketahui, sudah puluhan wartawan yang datang ke tempatku ini, tapi tak satu pun yang menanyakan seperti yang kalian tanyakan itu. Mereka datang cuma minta tolong uang bensin,” ungkap Kades masih geram.
    “Bapak tak bisa menyamakan kami begitu saja dengan mereka,” tangkisku memberanikan diri, sementara Riadi cuma diam menyimak.

    Sambil menyulut rokoknya, Kades yang memang dikenal temperamen itu pun melanjutkan, “sama saja kalian ini dengan wartawan lainnya itu, yang ujung-ujungnya juga ingin duit, hanya saja tak mau dapat sedikit,” ketus Kades sambil mengisap rokoknya.

    Betapa dongkol hatiku mendengar kata-kata Kades yang rupanya masih berlagak preman ini.
    “Baiklah, bila bapak tak bersedia memberikan jawaban atas konfirmasi kami ini, kami permisi saja,” ujarku akhirnya sambil bangkit dari tempat duduk.

    Kami berdua pun permisi meninggalkan rumah Kades dengan perasaan dongkol bercampur takut. Dongkol karena tak berhasil mendapat perlakuan dan jawaban yang diharapkan. Takut, membayangkan bila si Kades mengirim “orang-orangnya” untuk mencelakai kami.
    “Gimana ini, Wan ?” Tanya Riadi.
    “Apanya yang gimana ?” Aku balik tanya.
    “Maksudku jika si Kades gendeng itu mencelakai kita melalui anak buahnya yang kebanyakan para preman itu ?” tanya Riadi lagi.
    “Terserah dan pasrah aja, urusan mau celaka atau mati, serahkan aja ke Tuhan,” balasku sekenanya asal jawab. Padahal aku juga sedang membayangkan apa yang sedang dibayangkan Riadi temanku.

    Kami berdua sedang menunggu pesanan makan siang di satu warung tak jauh dari kantor desa, ketika ponselku berdering. Aku melihat yang menelpon adalah Kades Ardian. 
    “Aku tunggu di kantor desa,” suara Kades. 
    “Baik pak, tapi setelah selesai makan,” jawabku. 
    “Oke, saya tunggu,” sahut Kades.

    “Selesai makan ini kita diminta Kades datang ke kantornya,” kataku ke Riadi.
    “Mau apa lagi Kades sedeng itu ?” tanya Riadi.
    “Nggak tahu juga, kita kesana aja biar tahu apa maunya tuh orang,” balasku.
    “Jangan-jangan disana kita dapat sport jantung lagi,” ujar Riadi khawatir.

    Beberapa saat kemudian kami pun sudah berada di Kantor Desa. Kami diterima di ruang kerja Kades yang cukup representatif. Ruang kerja yang cukup luas, meja kursi kerja berukir jepara, sofa untuk tamu yang dibalut kain beludru, dilengkapi lemari es, televisi layar datar ukuran 34 inchi.
    Tampaknya Kades sudah agak bisa menguasai emosinya. Itu tampak dari roman mukanya yang tak tegang lagi.
    “Silakan minum,” tawar Kades sambil meletakkan dua botol teh yang barusan ia ambil dari dalam lemari es.
    “Terima kasih, pak,” ujarku.
    Aku pun meraih teh botol di depanku, diikuti oleh Riadi.
    Tenggorokanku terasa dingin dan lega usai menenggak minuman dingin itu.

    “Maksud saya memanggil kalian, mau minta maaf atas kejadian di rumah tadi. Saya emosi oleh pertanyaan kalian. Dan saya minta masalah ini lupakan saja. Saya berharap agar kita dapat menjalin hubungan baik,” ungkap Kades.
    “Ya, kami pun selalu berharap dapat membina hubungan baik dengan siapa saja,” balasku.

    Di akhir pertemuan dengan Kades itu, ia mengangsurkan 2 amplop kepadaku, namun kuarahkan Riadi yang menerimanya. 
    “Kapan-kapan kalau kesini lagi kasih tahu saya melalui telpon. Jangan dilihat berapa nilai pemberian saya, tapi hubungan baiknya,” ujar Kades seraya menyalami kami.

    Kades Ardian memimpin desa yang wilayahnya berada di pusat kecamatan yang dilalui oleh jalan raya. Setiap malam jalan umum itu ramai dilewati oleh truk pengangkut batubara dan sawit. Oleh pihak pemerintahan desa yang dikepalai oleh Ardian, truk-truk itu dipungut biaya lewat yang nilainya belasan ribu rupiah, dengan dalih sebagai pendapatan desa. Menurut warga setempat dalam semalam ratusan unit truk melintas yang wajib bayar ke pihak desa.
    Aku jadi membayangkan jutaan rupiah setiap harinya yang berhasil dipungut dari truk-truk itu. 
    “Pantas Kades bisa membeli mobil yang lumayan mahal. Sementara aku, sepeda motor pun belum dapat beli,” bathinku.

    Sejak truk-truk batubara dan sawit itu bebas lewat jalan umum setiap malam, warga yang bertempat tinggal di tepi jalan, banyak yang mengeluh oleh debu. Selain itu jalan umum pun sering macet.
    Inilah yang mendorong aku dan Riadi menyambangi Kades Ardian.

    Aku dan Riadi memutuskan pulang ke tempat kami tinggal yang jaraknya hanpir seratus kilometer dari desa yang kami sambangi.
    Di tengah perjalanan aku meminta Riadi berhenti dan menepi. Aku cuma ingin tahu berapa isi amplop yang diberikan Kades Ardian kepada kami. 
    “Coba dibuka amplopnya,” pintaku ke Riadi.
    “Satu amplop isinya 500 ribu, Wan,” kata Riadi sambil menyerahkan amplop bagianku.
    “Lumayan untuk konpensasi ketegangan atas sikap Kades itu ke kita,” ujar Riadi dengan senyum setelah beberapa saat lalu tegang.
    Aku cuma mengangguk sambil memasukkan amplop ke saku celana.

    Dalam perjalanan pulang, aku yang diboceng Riadi, mengingat-ingat pekerjaan yang sudah kujalani selama hampir 4 tahun ini. Berkerja sebagai seorang wartawan di satu koran luar daerah yang terbit setiap minggu.
    Koran tempatku berkerja tak sepeser pun memberikan gaji, tak ada apa-apa. Seluruh peralatan kerja harus kusediakan sendiri. Bahkan aku membayar semacam uang deposit yang nilainya cukup besar ketika aku menyatakan bergabung dengan koran itu. Aku pun memiliki kewajiban membayar biaya koran yang dikirimkan kepadaku setiap minggu sebanyak puluhan eksemplar. Yang kudapat dari pengelola koran itu cuma ID card dan surat tugas sebagai seorang wartawan.

    Kadang kupikir betapa aku telah dibodohi oleh perusahaan koran tempatku bekerja. 
    “ID card dan surat itu yang kamu pegang itu sudah lebih daripada gaji. Itu senjata kamu menghasilkan uang. Jangan pernah memeras untuk mendapat uang, meremas boleh,” kata Pemred-ku pada suatu kesempatan aku bertandang ke kantor redaksi yang harus kutempuh dengan naik pesawat.

    Tuntutan hidup mengharuskan aku untuk tetap bisa mencari uang dengan caraku, cara seorang wartawan tanpa gaji.
    Tak jarang apa yang kulakukan bertentangan dengan rasa idealisme yang masih kumiliki meski sedikit. Namun pekerjaan yang sudah membuatku dapat menghasilkan uang bertahun-tahun ini, tak gampang kulepas begitu saja.
    Entah sampai kapan aku mesti mencari uang dengan caraku ini, mengancam, mengintimidasi, manakut-nakuti, atau sok membantu, aku belum memikirkannya, kujalani saja………….

    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Dibalik Wajah Sok Bersih

    Oleh : Imi Suryaputera


    Sombong dan arogan sekali orang ini, pikir Heri. Lagaknya sok bersih setiap kali ditanya dan dikonfirmasi terkait berbagai dugaan penyelewengan di instansi yang dipimpinnya. Malahan orang ini balik menceramahi Heri yang sudah 2 tahun terakhir ini bekerja sebagai Koresponden di satu media cetak lokal.

    Pak Marhan, Kepala Dinas Tata Kota dan Bangunan di Kabupaten dimana Heri bertugas, selalu menunjukkan wajah yang kurang senang setiap kali Heri datang ke kantornya. Dari beberapa rekan Heri sesama Jurnalis pun, pak Marhan menunjukkan hal yang sama. 
    “Sok benar pak Marhan itu, sok bersih, sok suci,” cetus Deny, Jurnalis satu berita online dengan emosi. “Betul bro, gue sebel sekali liat muka sok bersihnya itu. Gue janji akan investigasi kasus penyelewengan proyek bangunan pasar itu, biar ketahuan siapa dia sebenarnya,” kata Fahmi, Wartawan koran nasional dengan tak kalah emosinya.

    Beberapa minggu terakhir, pak Marhan, seorang Kepala Dinas yang dikenal cukup dekat dan konon merupakan anak emas Bupati, diterpa isu terlibat penyelewengan dana proyek pembangunan satu pasar kabupaten yang menelan dana milyaran rupiah.
    Namun setiap kali dikonfirmasi oleh para wartawan, Marhan selalu berkelit dengan mengalihkannya ke pelaksana proyek.

    “Instansi kami cuma sebagai transit dana yang dianggarkan oleh DPRD melalui APBD. Pelaksananya kan jelas perusahaan yang memenangkan tender,” Marhan menjawab pertanyaan para wartawan.
    “Tapi setidaknya instansi bapak berkewajiban melakukan pengawasan disamping terlibat perencanaan dan penganggaran dana proyek," kata Heri penasaran.
    “Itu pasti, kami melakukan pengawasan terhadap pekerjaan pelaksana proyek, namun disana kan juga ada konsultan,” tangkis Marhan dengan mimik tambah tak senang.

    Selain kurang senang dikonfirmasi para wartawan, Marhan tak segan-segan menceramahi para jurnalis itu terkait pekerjaan mereka. 
    “Jadi wartawan itu sama halnya menyebarkan aib orang lain, meskipun benar, apalagi berita itu tidak benar, maka berarti memfitnah. Sebagai seorang terpelajar anda tentu faham apa itu fitnah menurut ajaran agama,” ceramah Marhan kepada Heri suatu waktu ketika Heri konfirmasi untuk yang keempat kalinya.
    “Silakan anda ingin memberitakan apa saja mengenai saya. Tapi bila berita itu mengandung kebohongan apalagi fitnah, saya akan menuntut anda secara hukum,” ancam Marhan dengan nada agak tinggi.

    Mata Heri masih mengantuk, kepalanya pun agak berat, tapi ia tetap mengangkat ponsel-nya yang berdering kencang. Heri memang selalu mengaktifkan ponsel-nya, dan meletakkannya tak jauh dari jangkauannya. 
    “Halo, ya pak, nanti saya kesana,” menjawab orang yang menelponnya.
    Pak Bupati memintanya untuk datang ke kediamannya pagi ini. Heri melihat arlojinya, pukul 08.17 WITa.

    Di kediaman Bupati yang berjarak sekitar seperempat jam naik sepeda motor dari rumah Heri, disana sudah ada beberapa rekan Heri sesama Jurnalis. Heri menghitung ada 6 orang rekannya.
    Heri sebetulnya bingung, tidak mengerti kenapa ia dipanggil oleh pak Bupati.
    “Ada apaan sih kita dipanggil kesini ?” tanya Heri berbisik ke Fahmi.
    “Kamu itu tidak tahu atau pura-pura ?” selidik Fahmi.
    Heri mengurungkan niatnya untuk meneruskan pertanyaannya.
    Akhirnya karena Heri tak bertanya, Fahmi balas berbisik ke Heri, “bangunan pasar kabupaten, salah satu sisi bangunannya ambruk karena diterpa hujan tadi malam.”
    Heri cuma manggut-manggut mendapat bisikan Fahmi. Dalam hatinya, syukurlah ia dapat informasi sehingga ia ada bahan di pertemuan dengan Bupati ini. Padahal Heri sama sekali tak tahu persoalan kenapa sejumlah Wartawan dipanggil pak Bupati. Hanya saja selama ini Heri sudah cukup dikenal sebagai seorang Jurnalis yang selalu menurunkan berita-berita investigatif, membongkar kebobrokan institusi pemerintahan.

    Heri membathin, inilah saatnya untuk membongkar kebobrokan pak Marhan yang pernah menceramahinya itu. 
    “Rasain kamu Marhan,” bisik hati Heri.

    Setelah sekian lama menunggu, pak Bupati muncul disertai pak Marhan, si Kepala Dinas Tata Kota dan Bangunan yang sok bersih itu.
    “Adik-adik sekalian yang kami panggil kesini, kalian pasti sudah mengerti maksud kami memanggil,” pak Bupati membuka pembicaraan dengan suara kalem.
    Para jurnalis hanya diam menyimak.
    “Kami, saya atas nama pribadi minta tolong kepada kalian agar bersedia untuk tidak menurunkan pemberitaan terkait ambruknya salah satu sisi bangunan pasar kabupaten,” lanjut Bupati langsung ke fokus.
    “Lagi pula ambruknya bangunan tersebut tadi malam tak banyak diketahui oleh publik. Dan saat ini perbaikannya sudah sedang berlangsung,” ungkap pak Bupati.

    Sebetulnya Heri bermaksud menyela permintaan pak Bupati, namun ia keduluan, maka ia urungkan.
    “Maaf pak Bupati, tapi ini berita menarik yang perlu diketahui oleh khalayak terkait kinerja yang tidak bagus dan tidak profesional,” protes Deny dari situs Sorot Online.
    “Ya, kami mengerti masalah itu. Namun untuk kali ini kami sangat berharap bantuan adik-adik agar masalah ini tidak muncul di media manapun,” pinta pak Bupati.
    “Atas kesediaan dan bantuan adik-adik sekalian, kami akan memberikan konpensasi. Dan kami berjanji hal seperti ini tak terulang lagi ke depannya. Saya kira cukup itu yang dapat saya sampaikan,” kata Bupati sambil menyuruh seorang ajudannya mengeluarkan beberapa amplop yang rupanya sudah disiapkan, kemudian diberikan ke masing-masing wartawan.

    Heri menerima amplop dari pak Bupati dengan perasaan campur aduk; senang, karena ia yakin isinya cukup banyak, geram dan kesal, disebabkan pekerjaannya terhambat untuk membuktikan kebobrokan pak Marhan yang sok alim itu.
    Ingin rasanya Heri menyumpah serapahi pak Marhan, bahkan andai boleh, Heri akan meludahi muka pak Marhan yang munafik itu.

    “Lumayan kan isinya dari pak Bupati,” tegur Dedi, wartawan koran mingguan yang sering jalan dengannya selama ini.
    Heri cuma diam seolah tak mendengar teguran temannya itu.
    “Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Kita cari trik lain untuk bisa memberitakan proyek si Marhan itu,” hibur Dedi.
    “Setuju, bro. Kita jangan terpengaruh oleh pemberian ini. Kita harus bongkar dugaan penyelewengan yang nilainya ratusan juta itu, yang merugikan masyarakat ini,” sahut Heri.

    Beberapa minggu setelah kejadian ambruknya bangunan pasar kabupaten itu, Heri yang sudah melengkapi berbagai data dan informasi hasil investigasinya, memutuskan untuk menurunkan berita dugaan penyelewengan di Dinas Tata Kota dan Bangunan. Namun Heri ingin terlebih dulu membicarakannya dengan Dedi yang selama ini menjadi tandemnya dalam berbagai investigasi.

    “Ded, aku bermaksud menurunkan berita dugaan penyelewengan proyek pembangunan pasar kabupaten itu,” cetus Heri ke Dedi.
    “Nggak apa-apa, aku sih setuju dan ikut kamu aja, aku juga akan menurunkan beritanya,” sahut Dedi.
    “Ya, kita tentukan saja waktunya agar beritaku dan beritamu bisa bersamaan terbit,” kata Heri.

    Tadi malam Heri begadang menyusun pemberitaan terkait dugaan penyelewengan itu untuk dikirimkan ke redaksi korannya.
    Keputusannya ini sudah ia pikirkan dan pertimbangan masak-masak. Dapat dipastikan setelah berita itu muncul, hubungan Heri dengan Pemkab, khususnya Bupati, menjadi tak harmonis. Dan apalagi hubungannya dengan Marhan, Kepala Dinas yang bersangkutan.
    Heri sudah membayangkan akan mendapat cibiran, dianggap munafik, tidak punya komitmen, mau menerima uang tapi tetap juga memberitakan.

    Akhirnya berita itu pun muncul, menjadi headline di halaman utama, dengan judul “Proyek Pasar Kabupaten Rugikan Ratusan Juta”, di koran tempat Heri bekerja. Sedangkan berita lainnya muncul di koran minggun tempat Dedi bekerja dengan judul “Dugaan Korupsi Ratusan Juta Di Proyek Pasar Kabupaten.”

    Hari ini Heri menerima telpon dari Kasi Intel Kejari setempat, pak Sunaryo.
    “Saya tunggu sekarang di ruang kerja saya di kantor, ajak Dedi sekalian,” ujar Sunaryo melalui telpon.
    “Oke, siap pak !” Sahut Heri.

    Sekitar duapuluh menit kemudian Heri dan Dedi sudah berada di ruang kerja Sunaryo.
    “Saya sudah membaca berita kalian mengenai dugaan penyelewengan proyek pasar itu. Dan hal ini sudah pula saya koordinasikan dengan Kajari, beliau memerintahkan pengumpulan bahan dan keterangan. Berita dari koran kalian itu menjadi salah satu bahan kami. Dalam waktu dekat ini kami akan memanggil sejumlah saksi terkait, serta Kepala Dinas yang bersangkutan,” urai Sunaryo.

    “Mampus kamu, pak Marhan,” bathin Heri.
    Baik Heri maupun Dedi berharap suatu saat nanti akan menyaksikan pak Marhan tak lagi dapat mengangkat wajahnya yang sok bersih itu. Keduanya ingin sekali menyaksikan pak Marhan dijemput dan dibawa polisi dengan tangan yang diborgol.

    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Ku Takkan Jatuh Cinta Lagi

    Oleh : Imi Suryaputera


    Rasanya mau kutampar, kucakar mukanya yang cantik itu, kemudian kuludahi sepuas hatiku, lalu tubuhnya yang sintal itu kuinjak-injak seperti bangkai tikus.

    Hatiku sangat geram dan sakit, ketika dari mulutnya yang mungil itu keluar kalimat penolakan atas cintaku. Perasaan cintaku yang selama ini kupendam terhadap Rusminah, kandas dan karam seperti bangkai kapal Titanic. 
    “Maaf mas, aku sudah memiliki seorang kekasih,” ungkap Rusminah datar tanpa ekspresi, suatu sore ketika aku bertamu ke kost-nya.

    Aku bagai disengat ribuan semut marabunta usai mendengar kalimat penolakan Rusminah atas cintaku. Rasanya untuk mengangkat wajah dan memandang paras cantik Rusminah saja, aku hampir-hampir tak kuat. 
    “Baiklah, cinta memang tak dipaksakan, dan tak mesti memiliki,” kataku tercekat.

    Kupikir tak lagi perlu berlama-lama di tempat kost Rusminah, aku pamit pulang. Aku ingin secepatnya menjauh dari Rusminah untuk bisa melampiaskan perasaan sakit dan terluka hatiku kepada apa dan siapa saja.

    Tak tahu harus kemana langkah ini kuarahkan. Aku tak mungkin pulang ke rumah membawa luka hati ini. Ku terus berjalan menyusuri trotoar sambil menunduk tanpa menghiraukan para pejalan kaki lainnya. Karena berjalan sambil menunduk, beberapa kali hampir menabrak orang. 
    “Kalau jalan itu pakai mata, jalan sambil melamun !” bentak seorang ibu-ibu setengah tua yang hampir kutabrak.
    Ku acuhkan saja makian ibu itu, ku terus saja berjalan menyusuri trotoar tanpa arah.

    Pikiranku menerawang kemana-mana, bercampur aduk; sedih, kecewa, terluka, dendam. Ingin rasanya aku berlari ke hutan luas yang sepi, lalu disana berteriak sekeras-kerasnya sambil mengatakan dunia ini sudah tak berlaku adil terhadapku.

    Entah seberapa jauh aku menyusuri trotoar, hingga aku berhenti di satu bangku di bawah sebatang pohon di halaman satu kantor pemerintah.
    Aku pun memutuskan untuk duduk di bangku itu yang kebetulan sedang kosong. Ku ambil sebatanng rokok dan kusulut, asapnya kusedot kuat-kuat lalu kuhembuskan dengan segenap perasaanku. Kali ini aku merasakan tidak nikmatnya merokok. Aku seperti mengisap sebatang rotan kering yang terbakar, pahit, asapnya mencekat di tenggorokan. Belum sampai separo batang kuisap, rokok kujatuhkan di dekat kaki, kuinjak hingga padam apinya.

    Aku bersandar di bangku yang terbuat dari kayu ulin itu. Kutengadahkan wajahku ke atas sambil memejamkan mata, kutarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan perlahan sambil membayangkan wajah manis Rusminah yang seolah sedang mengejekku.

    Rusminah, mahasiswa akademi kebidanan semester 3 di kotaku, sejak pertama kali kumengenalnya, aku sudah tertarik, dan jatuh hati. Pembawaannya yang kalem meski tak sampai keibuan, membuatku semakin tertarik. Gaya bicaranya yang lembut, hati-hati dan sopan, membuatku menjatuhkan pilihan padanya.
    Bagiku Rusminah bukan lagi seorang manusia, tapi bidadari yang dikirim Tuhan ke bumi untukku.

    Ku kenal Rusminah ketika aku ikut berkerja memperbesar bangunan Akademi Kebidanan dimana Rusminah kuliah, beberapa bulan lalu.
    Ku sering ketemu Rusminah saat sarapan pagi, atau pada jam makan siang di kantin samping bangunan Akademi. Kami sering mengobrol apa saja sambil menyantap makanan. Rusminah yang tidak sombong selalu melayani siapa saja yang mengajaknya bicara, tak cuma aku. Namun aku lah yang sering bertemu dan mengobrol dengan Rusminah.
    Saat-saat untuk terus dapat bertemu dan mengobrol dengan Rusminah di kantin, selalu kutunggu. Bagiku menunggu Rusminah muncul di kantin bukanlah hal yang membosankan. Pikirku lebih baik menunggu meski lama daripada tak ketemu Rusminah.
    Meski pekerjaanku telah selesai di tempat Rusminah kuliah. Aku selalu menyempatkan diri untuk pergi dan menunggu Rusminah di kantin itu.
    Hingga pada suatu ketika kuungkapkan niat dan keinginanku untuk berkunjung ke tempat kost Rusminah.

    “Datang aja, mas. Tapi nanti setelah pulang kuliah. Mas Rahman mau apa gerangan ke tempat saya ?” tanya Rusminah sambil menatapku sedikit heran.
    “Ada deh. Ada yang ingin aku sampaikan ke kamu,” jawabku agak gugup.
    “Okelah, mas. Datang aja nanti,” kata Rusminah datar.

    Kutersadar setelah cukup lama menerawang bersama bayangan Rusminah di pikiranku. Mulutku terasa masam, ku kembali menyulut sebatang rokok. Kali ini kucoba menikmati rokok seperti biasanya, namun tetap saja terasa pahit. Kujatuhkan kembali puntung rokok yang masih panjang itu di dekat kakiku. Beberapa kali kusulut rokok baru, rasanya selalu tetap pahit, sehingga bungkus rokok kosong. Kuarahkan pandanganku ke dekat kakiku, kuhitung, disana ada sebelas puntung rokok yang masih panjang-panjang. Bungkus rokok yang sudah kosong itu kuremas sekuat-kuatnya hingga lepek, kubayangkan seolah sedang meremas muka Rusminah yang telah melukai hati dan perasaanku.

    Rusminah………, mulai saat ini aku benci kamu. Kamu jahat, kamu jelek, kamu setan…………
    Apakah karena aku belum memiliki sepeda motor sehingga kamu menolak cintaku ? Apakah karena aku ini cuma seorang buruh bangunan serabutan, lalu kau serahkan cintamu ke pria lain ?
    Rusminah, kamu tidak tahu isi dalam hatiku, aku sangat mendambakanmu. Aku rela kau suruh apa saja asal kau terima cintaku.

    “Hooooiiiiii, stop melamun !” sebuah suara yang cukup kukenal mengagetkanku.
    Ku menoleh ke belakang, ternyata Arman, temanku sesama buruh bangunan yang entah datang dari mana.

    “Ngapain kamu disini, seperti orang lari dari rumah aja ?” tanya Arman.
    “Lagi suntuk aja, kamu dari mana juga ?” aku balik tanya.
    “Aku kebetulan aja lewat sini dari jalan-jalan sambil cari order kerjaan baru,” sahut Arman.
    “Pulang yuk,” ajakku lesu ke Arman.

    Kami berdua pun meninggalkan bangku dimana aku duduk merenung dan melamun cukup lama.
    Matahari senja di musim kemarau sudah hampir mendekati ufuk barat. Sinarnya yang jingga keemasan semburat indah. Namun keindahan apapun kali ini tak lagi menjadi indah di mataku. Semua keindahan itu telah terkubur bersama cintaku yang kandas dan karam.
    Dalam perjalanan pulang, bathinku bertekad, aku tak kan mudah lagi jatuh cinta.

    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Demi Anak Dan Suami, Kurela Melacur

    Oleh : Imi Suryaputera


    Sudah hampir setengah jam yang lalu, Sumiati menunggu kata ijin yang keluar dari mulut suaminya, Syahrul. Namun suaminya itu tetap diam, asyik menyedot asap rokoknya, menghembuskannya dengan nafas berat.

    Ingin rasanya Sumiati berteriak sehingga suaminya cepat mengiyakan, atau sebaliknya melarang ia pergi. Sumiati sudah sangat gelisah menanti jawaban suaminya.

    Sumiati meminta ijin kepada Syahrul untuk pergi ke kota Kabupaten yang jaraknya lebih dari seratus kilometer dari tempatnya tinggal kini, di satu kota Kecamatan.
    Bila diijinkan suaminya, biasanya Sumiati pergi menjelang sore dengan mengendarai sepeda motor yang baru beberapa bulan ia beli secara cicilan.

    Di kota Kabupaten yang lumayan ramai, Sumiati berkerja, menjual kehangatan kepada para pria hidung belang. Ia berkerja sendiri tanpa perantara seorang mucikari.
    Di tempat mangkalnya, di satu kawasan yang banyak warung teh dan kopi, Sumiati menunggu pria yang memerlukan jasanya.

    “Pergilah, besok datangnya jangan terlalu siang, hati-hati di jalan,” akhirnya ijin itu terlontar juga dari mulut Syahrul.
    “Terima kasih, bang !” sahut Sumiati yang nyaris saja terlonjak kegirangan.
    Tentu saja Sumiati girang, karena jika tak diijinkan suaminya, artinya tak ada pemasukan untuk biaya rumah tangga dan biaya anak-anaknya sekolah.

    Ia pun menyiapkan berbagai keperluannya, seperti HP dan charger-nya, serta alat-alat kosmetik.

    Lisa, anak Sumiati yang berumur 14 tahun dan adiknya, Madi yang berumur 9 tahun, tak kelihatan, sehabis makan siang sepulang dari sekolah, keduanya keluar rumah. 
    “Bang, saya pamit,” kata Sumiati sembari berjalan ke arah Syahrul yang kemudian mencium tangan suaminya itu.
    Syahrul cuma mengangguk pelan atas pamitnya Sumiati.

    Sumiati yang hampir mendekati usia 40 tahun, berkulit coklat, tinggi sedang rata-rata wanita Indonesia, rambut sebahu hitam campur pewarna pirang, body cukup aduhai mengundang selera pria, masih terlihat cukup cantik.

    Hari agak sore saat Sumiati berangkat dari rumahnya. Ia mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Sumiati akan sampai ke tempat tujuan sekitar lebih 2 jam bila tak ada halangan.

    Sumiati tiba di tempat tujuan setelah shalat isya usai. Ia menuju satu warung makan langganannya untuk mengisi perutnya sebelum memulai mencari “pasien”.
    “Baru datang, Sum,” basa-basi ibu pemilik warung yang memang sudah kenal Sumiati cukup lama.
    “Iya, bu. Minta nasi sop, satenya lima, sama teh es,” sahut Sumiati sembari pesan makanan dan minumannya.
    “Kok kelihatan agak sepi malam ini, bu (?)” ujar Sumiati.
    “Iya sih, beberapa malam ini kurang rame, katanya banyak tambang batubara yang nggak bisa kerja,” ungkap pemilik warung sekenanya.
    “Oh ya,” cuma itu yang bisa keluar dari mulut Sumiati.

    Sambil menunggu pesanannya pikiran Sumiati membayangkan keadaan di tempat mangkalnya yang kurang rame malam ini. 
    “Wah gawat, bisa-bisa nggak bawa duit pulang besok,” bathin Sumiati.

    Usai makan malam, Sumiati pun pergi ke tempat mangkalnya, di belakang kumpulan warung, dekat pangkalan ojek yang diterangi lampu jalan remang-remang.
    “Dari mana, Sum ?” sapa Titin, salah seorang yang berprofesi sama dengan dirinya.
    “Dari warung bu Ani, makan malam,” jawab Sumiati.

    Sumiati mengambil tempat, duduk di satu kursi kayu panjang berjarak beberapa meter dari para tukang ojek dan tukang becak mangkal menanti penumpang. Sumiati tak bisa lagi mengingat sudah berapa kali ia duduk di kursi kayu itu menanti pria hidung belang berbagi kehangatan dan rejeki dengan imbalan tubuhnya.

    Sambil membuka nomor-nomor kontak di ponselnya, Sumiati sesekali mengalihkan pandangannya ke pangkalan ojek, siapa tahu ada tamu untuknya malam ini. Sumiati terus berharap, tepatnya berdoa agar ada pria yang tertarik kepadanya. Meski sebenarnya Sumiati sadar pekerjaannya ini berlumuran dosa, namun baginya tak ada pilihan lain.

    Cukup lama Sumiati duduk di tempatnya, ia kira hampir 2 jam. Seorang tukang ojek kenalannya menghampiri. 
    “Sum, ada yang cari teman, tapi ia cuma berani 200 ribu, gimana ?” tanya Anto, si tukang ojek.
    “Boleh deh sebagai penglaris, nanti buat kamu 25 ribu,” jawab Sumiati.
    “Oke, tunggu disini aku bilang ke orangnya,” kata Anto sambil beranjak.
    “Alhamdulillah, akhirnnya ada juga yang tertarik padaku,” gumam Sumiati pada dirinya sendiri.

    Seorang pria agak gondrong ditemani si tukang ojek mendatangi Sumiati. 
    “Kita ketemu di penginapan DA, aku duluan,” kata pria itu tanpa memperkenalkan diri kepada Sumiati.
    “Ya mas, sampeyan duluan, saya nyusul,” sahut Sumiati sambil berdiri dan beranjak mengambil sepeda motornya.
    Bagi Sumiati tak perlu tahu siapa nama pria yang mengajaknya kencan. Ia butuh duit, bukan yang lainnya, privasi orang lain.

    Malam ini Sumiati hingga menjelang hampir subuh, berhasil memperoleh 2 orang “pasien”, penghasilannya bersih 375 ribu.
    “Lumayan lah untuk malam ini, masih bisa bawa uang pulang,” Sumiati membathin.

    Menjelang warna merah semburat di ufuk timur, Sumiati sudah bersiap dengan sepeda motornya menuju pulang, menempuh perjalanan yang cukup jauh.

    Syahrul, suami Sumiati, sudah lama tak berkerja. Sehari-harinya Syahrul bila bosan di rumah, pergi memancing, atau kumpul-kumpul dengan sesama temannya yang pengangguran.
    Syahrul bukan tidak tahu apa yang dilakukan istrinya setiap kali meninggalkan rumah. Tapi Syahrul berpikir, “ah biar saja, yang penting tidak melakukannya di tempat tinggalnya.”
    Selain itu Syahrul selama ini sudah keenakan menganggur tanpa harus bersusah payah mencari duit.
    Meski begitu, tak jarang pikiran Syahrul diliputi kecemburuan bila membayangkan istrinya dalam pelukan dan bercinta dengan pria lain. Bila sudah begini, ingin rasanya Syahrul meracuni istrinya, atau menggoroknya saat sedang tidur, atau menikam mati satu persatu pria yang pernah meniduri istrinya.
    Namun hal itu tentu saja tak akan pernah berani dilakukan Syahrul terhadap Sumiati. Ia masih memikirkan masa depan anak-anaknya. Lagi pula yang dikerjakan istrinya itu untuknya dan anak-anak mereka.

    Sering kali Syahrul berpikir untuk menghentikan pekerjaan istrinya itu. Tapi ia selalu belum siap untuk berkerja keras menghidupi keluarganya. Syahrul yang cuma lulusan SD, tak memiliki keahlian yang mesti diperlukan untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
    “Maafkan aku, bang. Mereka setiap saat dapat membeli tubuhku, tapi tak akan pernah memiliki hati dan cintaku. Suatu saat nanti bila simpananku cukup, aku akan berhenti untuk mencari usaha lain,” ungkap Sumiati suatu ketika kepada suaminya.
    Syahrul hanya dapat melengos menghindari tatapan mata Sumiati. Ada rasa perih dalam dadanya sekaligus bangga mendengar ungkapan istrinya. Didekapnya erat-erat Sumiati, dibelainya rambut istrinya itu dengan perasaan sayang.

    Dalam perjalanan pulang Sumiati beberapa kali harus berhenti. Kepala dan matanya terasa berat oleh kantuk karena semalam suntuk tak tidur. Ia lelah, bukan saja raganya yang lelah, tapi juga jiwanya. Namun demi masa depan kedua anaknya, serta suaminya yang tak berkerja, ia rela menjual harga dirinya. Terbayang di pelupuk matanya saat tabungannya sudah cukup untuk memulai usaha, dan mengakkhiri pekerjaannya ini. 
    “Ya Tuhanku, ampunilah dosaku, berikan aku petunjuk-Mu agar semua ini cepat berakhir,” doa Sumiati dengan penuh harapan.


    ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

    Aku pelayan isteriku

    Oleh : Imi Suryaputera


    Bunyi dari pengeras suara mengajak umat Islam agar shalat subuh, terdengar lamat-lamat dari satu surau yang terletak di utara desa.
    Amran yang sedang kedinginan dibalut sarung, pelan-pelan membuka matanya. Sementara Jenah isterinya, tampak masih sedang tidur lelap terbungkus selimut tebal. Selama beberapa minggu ini udara menjadi amat dingin menjelang dini hari. Hal ini mungkin disebabkan semakin jarangnya pepohonan yang tiap hari terus bertumbangan dibabat untuk kegiatan pertambangan batubara dan pembukaan lahan sawit dan karet.

    Perlahan Amran turun dari ranjang kemudian membuka pintu kamar berjalan keluar. Ia membuka kamar anaknya. Tampak Mira yang kini duduk di kelas 5 SD, dan adiknya Hendra yang masih berumur 4 tahun, sedang tidur lelap seperti ibu mereka.
    Amran menutup kamar anaknya, melangkah ke kamar mandi. Ia membasuh muka, kemudian berjalan menuju ke arah dapur, mengambil segelas air putih dan meminumnya hingga tandas. Tenggorokannya terasa segar sehabis minum air. Ia pun pergi mengambil rokok yang berada di meja ruang tamu. Amran menyulut rokok, menghirupnya pelan-pelan. Ini kebiasan Amran setiap ia bangun tidur, segelas air putih dan rokok.

    Sebatang rokok telah dihabiskan Amran. Selanjutnya ia mengambil sapu. Amran mulai menyapu dari ruang tamu hingga ke bagian dapur. Usai menyapu ia pun mengepel lantai pelataran depan dan samping rumahnya.
    Sejenak ia tercenung mengingat beberapa tahun silam ketika ia masih tinggal di rumah kontrakan bersama keluarga kecilnya. Berkat kegigihannya kini Amran dapat membangun rumah sendiri dengan ukuran yang cukup besar dibanding rumah-rumah tetangga di sekitarnya.
    Amran tersentak dari lamunannya, kembali melanjutkan pekerjaan rumah yang menjadi rutinitasnya tiap pagi.
    Kali ini ia mengumpulkan semua pakaian kotor miliknya, serta milik isteri dan anak-anaknya. Semua pakaian kotor itu ia rendam di larutan detergen dalam baskom besar. Cucian itu ia biarkan selama hampir setengah jam. Sambil menunggu rendaman cucian, Amran kembali menyulut rokok.

    Pekerjaan rumah yang semestinya dikerjakan oleh isterinya ini, telah lama menjadi rutinitas Amran. Awalnya memang berat dilakukan Amran mengingat bukan pekerjaan suami sebagai kepala rumah tangga. Namun karena saking sayang dan takutnya terhadap isterinya, ia kerjakan juga, dan lama-lama menjadi kebiasaan.
    Sebetulnya bathin Amran tertekan, sering kali dalam hatinya ia ingin berteriak menghardik isterinya agar berlaku seperti isteri pada umumnya, namun ini tak pernah berani keluar dari mulut Amran, tenggorokannya selalu tercekat, apalagi bila mengingat anak-anaknya. Tak jarang pula Amran berpikir ingin lari saja meninggalkan rumah dan keluarganya sejauh mungkin, tapi lagi-lagi ia berpikir betapa ruginya ia yang telah membangun mahligai rumah tangga sekian lama menjadi seperti istana pasir yang diterjang ombak tepi pantai.

    Semua pakaian kotor telah dicuci Amran. Pekerjaan lainnya yang akan dilakukan Amran adalah memasak, kemudian menggoreng telur dan mie instant. Makanan untuk sarapan pagi ini pun telah ia siapkan di meja.
    Amran berjalan ke arah kamar tidur anaknya. membangunkan Mira dan Hendra agar segera pergi mandi. Hari ini Senin, kedua anaknya akan pergi ke sekolah. Mereka diantar Amran menggunakan sepeda motor. Mira bersekolah di SD yang berada di seberang jembatan desa, sedangkan Hendra masih duduk di TK yang tak jauh dari sekolah kakaknya.
    Kedua anaknya pun telah selesai mandi. Mira mencari pakaian dan mengenakannya sendiri. Pakaian Hendra diambilkan ayahnya, dan ayahnya pula yang memasangkannya.

    Kini kedua anaknya pun telah berpakaian rapi. Berikutnya Amran membangunkan isterinya yang tampak masih tertidur lelap. Hari telah menunjukkan pukul 06.47 waktu setempat. Jenah yang terlihat masih mengantuk menggerakkan tubuhnya, melepas selimut, dan beranjak dari ranjang sambil berjalan agak sedikit sempoyongan menuju keluar kamar tidur. Amran mengikuti isterinya dari belakang menuju kamar mandi. Sambil menunggu giliran mandi sesudah isterinya, Amran menyulut rokok dan memeriksa buku catatannya untuk kegiatan hari ini. Amran telah menulis beberapa nama Pejabat Pemkab dan Bos perusahaan tambang batubara yang akan ia temui hari ini untuk keperluan konfirmasi. Pekerjaan sebagai Wartawan pada satu Koran mingguan yang terbit di Pulau Jawa, telah ia tekuni selama lebih dari 5 tahun. Pekerjaan ini telah memberinya banyak materi; rumah beserta perabotnya, sepeda motor, dan sejumlah simpanan yang ia tabung untuk masa depan keluarganya.

    Jenah telah selesai mandi, kini giliran Amran. Kedua anak dan isterinya itu sarapan pagi tanpa menunggu kehadiran Amran di meja makan. Amran telah terbiasa sarapan pagi dari sisa yang dimakan anak dan isterinya.
    Jenah isteri Amran merupakan wanita yang tiap perkataan dan keinginannya tak boleh ditentang siapapun tak terkecuali suaminya sendiri. Paras yang cukup cantik dengan kulit bersih, membuat Jenah amat disayangi Amran. Tiap keinginan Jenah yang ia sampaikan kepada suaminya tak akan ditolak, Amran pasti akan berupaya maksimal mewujudkan keinginan isterinya itu. 
    “Jika saja aku duluan mati daripada isteriku, aku akan mati penasaran. Arwahku akan mengganggu tiap orang yang bermaksud akan mengawini isteriku,” ungkap Amran ke salah seorang teman dekatnya. Entah Amran serius dengan perkataannya itu, atau cuma ungkapan rasa sayang dan cinta terhadap isterinya.

    Usai sarapan Amran menyiapkan segala peralatan kerjanya terdiri dari kamera digital, perekam suara, flashdisk dan lainnya yang ia masukkan kedalam ransel berikut puluhan lembar Koran edisi terakhir yang akan ia berikan ke tiap orang yang dikonfirmasinya. Amran pun tak akan memberikan korannya jika orang yang dikonfirmasi tersebut tak mengerti dengan menyelipkan amplop terlebih dulu kepadanya. Bagi Amran tiap lembar Koran yang ia berikan harus bertukar dengan uang pengganti, karena Amran tak digaji oleh perusahaan koran tempat ia berkerja. Penghasilan Amran sebagai wartawan ia peroleh dari hasil konfirmasi dan bertukar berita dengan objek pemberitaannya.

    Amran pun mengambil HP-nya, namun tak menghidupkannya. HP jenis komunikator itu ia masukkan saja ke tempatnya yang tergantung di pinggang. Amran hanya akan mengaktifkan HP-nya jika telah berada jauh dari rumahnya. Ia akan sangat kuatir bila tiap panggilan masuk maupun SMS akan ditanya isterinya. Makanya Amran pun tak akan memberikan nomor HP-nya ke sembarang orang, apalagi perempuan. 
    "Awas saja bila sampai ada nomor HP perempuan kutemukan di HP-mu itu, tahu sendiri akibatnya," ancam Jenah dengan muka judes suatu kali kepada suaminya. Amran hanya bisa menarik nafas panjang mendengar ancaman isterinya itu.

    Semua sudah beres. Amran menurunkan sepeda motornya yang baru sekitar 4 bulan ia beli. Kedua anaknya telah siap diantar ke sekolah. Sementara itu Jenah sedang menjemur pakaian yang telah dicuci Amran sebelumnya. Setengah berteriak Amran memberi tahu kepergiannya dan anak-anaknya meninggalkan rumah.
    Amran pelan-pelan mengendarai sepeda motornya menuju sekolah anaknya. Lalulintas amat padat tiap pagi karena mereka yang berangkat ke sekolah, ke kantor, dan para ibu rumah tangga yang pergi ke pasar desa.
    Perjalanan Amran masih jauh sekitar hampir 50 kilometer untuk mencapai ibukota kabupaten. Di sebelah tikungan sekitar setengah kilometer dari sekolah anaknya, Amran menghidupkan HP-nya. Beberapa SMS masuk dari teman-teman seprofesi Amran. 
    “Langsung saja ke Humas, ambil insentif bulan ini sudah keluar,” bunyi SMS dari Toni, teman Amran yang korannya jarang terbit. Toni lebih pandai cari duit ketimbang mencari dan menulis berita. Gayanya pun lebih mirip anggota DPRD yang banyak bicara daripada berkerja. SMS lainnya berasal dari temannya yang bernama Dian, “Ambil uang liputan di tempat wartawan Berkala Post.”
    Beberapa miscall juga masuk, salah satunya dari teman dekat Amran bernama Denny. Amran tidak membalas SMS teman-temannya. Ia justru menelpon balik Denny.
    Amran : “Dimana nih ?”
    Denny menyahut, “di Humas, langsung saja kesini.”
    Amran : “Aku masih di jalan, tunggu aja sekitar 40 menit.”
    Denny : “Ya, aku tunggu aja di warung Kang Didi.’
    Amran mematikan HP-nya, membetulkan helm, dan melaju kencang.

    Terkecuali hari libur, Amran telah terbiasa tiap hari menempuh perjalanan dari rumahnya ke ibukota kabupaten. Satu hal yang wajib ia penuhi adalah, harus membawa uang pulang ke rumah. Isterinya pasti akan mengomel panjang lebar jika sampai Amran pulang tanpa hasil. Dan isterinya pun akan selalu menelponnya menanyakan apakah Amran telah dapat uang atau tidak sebelum pulang ke rumah. Semua penghasilan Amran setiap hari yang berasal dari pekerjaannya sebagai Wartawan, akan diambil isterinya. Amran hanya akan diberi uang untuk pembeli bensin dan rokok saja.
    Amran ingat pernah suatu ketika dengan wajah lesu pulang tanpa membawa hasil. 
    "Kenapa sampai tak dapat uang ?" tanya isterinya setengah membentak. 
    "Jangan-jangan kamu berikan ke perempuan disana. Kamu mulai berani coba-coba main gila, ya ?" sembur isterinya, sementara Amran menundukkan wajahnya sambil berpikir mencari jawaban yang tepat untuk isterinya.
    "Yang namanya rejeki itu tak setiap hari apalagi setiap saat, bu. Adakalanya Tuhan belum berkenan memberikannya kepada kita," tangkis Amran dengan suara bergetar sambil menahan antara takut dan geram. 
    "Alasan saja ! Awas kalau nanti terus seperti ini, tak usah pulang ke rumah sekalian," semprot isterinya sambil berlalu dengan menghentakkan kakinya.

    Sepanjang perjalanan pikiran Amran hanya tertuju ke Humas yang harus ia capai segera. Insentif bulan ini sebesar Rp. 500 ribu, ditambah Rp. 100 ribu yang berasal dari uang liputan. Ia pun telah menyiapkan kliping berita kegiatan Pemkab sebanyak 15 kliping yang akan ia tagih sebesar Rp. 750 ribu.
    Setibanya di komplek perkantoran Pemkab, Amran menuju ke warung Kang Didi. Disini biasa menjadi tempat kumpul para Wartawan sebelum ke Bagian Humas dan menemui para Pejabat. Apalagi disini tak jarang Kepala Dinas dan Bagian, juga pengusaha mampir untuk sarapan pagi. Keberadaan mereka ini adalah keberuntungan bagi Wartawan yang cukup dikenal mereka. Tak jarang pula mereka bagi-bagi rejeki ke para Wartawan.

    Warung Kang Didi seperti pagi sebelumnya terus ramai oleh pengunjung. Tampak beberapa Kepala Dinas sedang sarapan pagi. Amran melangkah masuk menuju tempat Denny duduk sambil menyapa para Kepala Dinas. Amran memesan teh hangat manis, sementara Denny tampak sedang membalas SMS yang masuk ke HP-nya.
    “Kamu sudah dari Humas ?” tanya Amran ke Denny.
    “Sudah, punyaku sudah aku ambil. Nanti aku temani kamu ke Humas,” balas Denny sambil terus memencet HP-nya.
    Seorang Kepala Dinas yang duduk dekat Amran dan Denny menyapa, “Nggak makan ?”
    Amran menyahut, “Sudah pak, kami minum aja.”
    Kembali Kepala Dinas itu bicara, “Kalo nggak makan, silakan ambil rokok atau apa, nanti saya yang bayar.”
    Sambil berkelakar Amran menjawab, “Gampang aja pak, kita minta yang mentahnya saja.”
    Pejabat itu hanya tersenyum mendengar jawaban Amran.

    Amran beranjak sebentar melangkah ke tempat etalase rokok. Ia mengambil 2 bungkus untuknya dan Denny. Ia pikir mumpung ada yang bersedia membayari.
    Setelah beberapa lama, Kepala Dinas yang telah selesai sarapan itu mendekati meja Amran. Ia mengangsurkan 2 lembar uang kertas ratusan ribu rupiah. 
    “Ini mentahnya, bagi berdua,” ucap Kepala Dinas yang diisukan sering main perempuan itu.
    Pejabat itu pun menjauh untuk membayar makanan dan minumannya berikut minuman dan rokok Amran dan Denny.
    “Yuk duluan,” ujarnya lagi.
    “Terima kasih pak,” sahut Amran dan Denny serempak.
    Tak berapa lama setelah Pejabat itu pergi Amran dan Denny pun keluar menuju ke Bagian Humas. Sementara itu pengunjung lainnya pun mulai beranjak satu per satu menuju ke tempat kerjanya masing-masing.

    (Cerita ini cuma fiktif, hasil rekaan. Jika terdapat kesamaan karakter, tempat lokasi, dan nama pelaku, itu hanya kebetulan)

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Komentarmu adalah gambaran isi kepalamu, maka diam lebih bijak daripada sok tahu.

    Beranda